Pengaruh Umur, Depresi dan Demensia Terhadap Disabilitas Fungsional Lansia (Adaptasi Model Sistem Neuman)

iklan
ABSTRACT

Objective To predict the influences of age, depression and dementia on the functional disability of an elderly using Neuman System Model perspectives.
Method The study design was a cross-sectional. 70 elderly was choosen as a subject at Panti Sosial Tresna Werdha Abiyoso and Budi Dharma Province D.I. Yogyakarta. Depression was assessed using the Geriatric Depression Scale 15-Item (GDS-15), dementia was assessed using the Mini-Mental State Examination (MMSE), and functional disability was assessed using the Groningen Activity Restriction Scale (GARS).
Results The mean age was 70.59 (95%CI, 68.97–72.27); 44.3% severe-moderate depressed; 55.7% mild depressed; 11.4% cognitive impairment; 90.0% with activities of daily living (ADL) independently and 10.0% with ADL fully independently but with some difficulty. The correlation analysis at α=0.05 showed that age (r=0.426; r2=18.2%; p=0.000), depression (r=0.313; r2=9.8%; p=0.008), and dementia (r=-0.512; r2=26.2%; p=0,000) had the significant relationship with functional disability of elderly. The multiple linear regressions at α=0.05 showed that regression model was functional disability = 16.906 + 0.223*Age + 0.443*[GDS-15] scores – 0.499*MMSE scores (r=0.609; r2=37.1%; p=0.000).
Conclusions Age, depression and dementia had significant influence to functional disability among elderly. Age, depression and dementia that caused functional disability impairment among elderly can be described as an intra-personal environment that acts like a stressor. Nursing intervention methods that can help prevent depression and dementia need to be established. Furthermore, a comprehensive study on NSM testing is needed.

Key words: age, depression, dementia, functional disability, elderly, Neuman Systems Model


1. Pendahuluan

Kelompok lansia dipandang sebagai kelompok masyarakat yang berisiko mengalami gangguan kesehatan. Masalah keperawatan yang menonjol pada kelompok tersebut adalah meningkatnya disabilitas fungsional fisik. Disabilitas fungsional pada lansia merupakan respons tubuh sejalan dengan bertambahnya umur seseorang dan proses kemunduran yang diikuti dengan munculnya gangguan fisiologis, penurunan fungsi, gangguan kognitif, gangguan afektif, dan gangguan psikososial.

Lansia yang mengalami depresi akan mengakibatkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-harinya (Miller, 1995; Lueckenotte, 2000; Hall & Hassett, 2002), sedangkan lansia yang mengalami demensia dilaporkan juga memiliki defisit aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dan aktivitas instrument kehidupan sehari-hari (AIKS) (Jorm, 1994). Sebaliknya, keterbatasan lansia dalam memenuhi aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dapat menjadi salah satu faktor penyebab munculnya depresi (Eliopoulos, 1997; Roberts, Kaplan, Shema & Strawbridge, 1997).

Disabilitas fungsional lansia sebagai efek dari perubahan fisiologis (umur depresi dan demensia) memungkinkan untuk dijelaskan melalui Model Sistem Neuman (MSN). Dalam kerangka pikir MSN, realitas seseorang, keluarga, atau komunitas dipandang sebagai subyek yang memiliki aspek multidimensional dan bersifat unik. Sehingga, proses penuaan lansia banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologis, psikologis, perkembangan, sosiobudaya dan spiritual (Reed, 1993).

Beberapa penelitian telah mencoba mengaplikasikan kerangka konseptual keperawatan MSN (Lowry & Anderson,1993; Gigliotti,1999; Stepans & Fuller,1999; Villarruel, Bishop, Simpson, Jemmott, & Fawcett, 2001; Fawcett & Gigliotti, 2001; Stepans & Knight; 2002) dalam beberapa kondisi dengan struktur konseptual-teori-empiris. MSN memiliki banyak interrelasi konsep sehingga derivasi teori konseptual tersebut lebih bersifat kontekstual. Oleh karenanya, peneliti mencoba mengintegrasikan proses perubahan disabilitas fungsional lansia dengan MSN sebagai salah satu teori dasar keperawatan komunitas sehingga dapat digunakan sebagai studi pendahuluan terhadap penelitian-penelitian mengenai disabilitas fungsional yang lebih kompleks.

2. Metodologi

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh umur, depresi dan demensia terhadap disabilitas fungsional lansia dalam perspektif MSN. Disabilitas fungsional lansia difokuskan pada keterbatasan lansia dalam pemenuhan kebutuhan AKS dan atau AIKS. Peneliti mencoba memprediksi pengaruh variabel umur sebagai salah satu faktor endogen pada proses penuaan, depresi dan demensia sebagai faktor eksogen terhadap perubahan variabel disabilitas fungsional lansia dengan menggunakan uji regresi linear berganda.

Populasi terjangkau adalah lansia yang rentan mengalami keterbatasan fungsional di panti werdha. Sampel diambil secara acak di dua panti werdha, yaitu: PSTW Abiyoso dan PSTW Budhi Dharma Propinsi D.I. Yogyakarta. Kriteria inklusi responden, yaitu: (1) lansia berusia di atas atau sama dengan 60 tahun; (2) lansia tidak dalam kondisi sakit parah / terminal; dan (3) lansia bersedia menjadi responden. Penentuan besar sampel dilakukan dengan perhitungan pengujian hipotesis untuk sebuah rata-rata populasi (Lemeshow, Hosmer, Klar & Lwanga, 1990) sehingga didapatkan besar sampel 70 responden.

Instrumen Skala Depresi Geriatri/Geriatric Depression Scale 15-Item (GDS-15) (Cordingley, Challis, Mozley, Bagley, Price, Burns, & Huxley, 2000) dan Set Data Minimal Untuk Skala Depresi/Minimum Data Set-based Depression Rating Scale (MDSDRS) (Burrows, Morris, Simon, Hirdes, & Phillips, 2000) digunakan untuk mengukur status depresi lansia, instrumen Penilaian Status Mental Mini/Mini-Mental State Examination (MMSE) (Yellowlees, 2002) dan Kuesioner Singkat Untuk Status Mental/Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ) (Roccaforte, Burke, Bayer, & Wengel, 1994) digunakan untuk mengukur status demensia lansia, serta instrumen Skala Keterbatasan Aktivitas Groningen/Groningen Activity Restriction Scale (GARS) (Suurmeijer, Doeglas, Briançon, Krol, Sanderman, Guillemin, Bjelle, & Heuvel, 1994) khusus untuk mengukur disabilitas fungsional lansia.

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, diketahui uji reliabilitas interrater Kappa-Cohen menunjukkan semua alat ukur memiliki kesepatan yang sama (p=0,000). Untuk pengukuran status depresi, peneliti memilih menggunakan GDS-15 (sensitivitas 88,9%; spesifisitas 47,8%) karena memiliki tingkat akurasi (sensitivitas dan spesifisitas maksimum) lebih tinggi dibanding MDSDRS (sensitivitas 42,9%; spesifisitas 100,0%). Peneliti memilih alat ukur MMSE (sensitivitas 100,0%; spesifisitas 90,0%) untuk mengukur status demensia lansia karena akurasinya lebih tinggi dibanding alat ukur SPMSQ (sensitivitas 85,0%; spesifisitas 75,0%). Sedangkan alat ukur GARS tidak menggunakan alat ukur pembanding sehingga peneliti memilih GARS untuk mengukur status disabilitas fungsional lansia.

Berdasarkan hasil uji statistik, peneliti selanjutnya melakukan analisis deskriptif untuk menjelaskan disabilitas fungsional lansia sebagai mekanisme respons perubahan variabel umur, depresi, dan demensia dalam perspektif MSN. Interpretasi interaksi antara lansia dengan lingkungannya dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) menyusun model teoritis hubungan stresor (umur, status depresi, dan status demensia) dan respons (disabilitas fungsional), dan (2) menyusun matriks proses keperawatan berdasarkan kerangka kerja MSN.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Karakteristik Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia memiliki umur paling rendah 60 tahun dan maksimum berusia 90 tahun. Rata-rata umur responden di kedua panti wredha adalah 70,59 tahun (interval kepercayaan 95%: 68,97 – 72,27). Sebagian besar (55,7%) responden berjenis kelamin perempuan sedangkan sisanya (44,3%) adalah lansia pria. Sebagian besar (48,4%) responden tidak pernah mengenyam bangku sekolah di tingkat mana pun sedangkan 42,9% lainnya hanya mengenyam pendidikan sampai setingkat sekolah dasar atau sekolah rakyat. Sebagian kecil dari responden yang memiliki pendidikan terakhir setingkat SLTP. Status janda memiliki proporsi terbesar (50,0%) diantara responden di PSTW Abiyoso dan PSTW Budi Dharma. Persentase lansia duda hanya 40,0%, namun ada sebagian kecil (10,0%) dari mereka yang sama sekali belum menikah.

Berdasarkan observasi di lokasi penelitian diketahui bahwa sebagian besar (67,1%) lansia belum memiliki keterbatasan fisik namun sudah dijumpai sebagian kecil responden mengalami keterbatasan fisik. Dua puluh tiga responden yang mengalami keterbatasan fisik umumnya menggunakan alat bantu, yaitu : tongkat 69,6%, kacamata 21,7%, kruk 4,3%, dan tripod 4,3%. Setelah disabilitas fungsional lansia diukur menggunakan Skala GARS dengan rentang nilai 17-68, maka hasil pengukuran didapatkan nilai minimum 17 dan nilai maksimum 36 dengan rata-rata skor sebesar 21,89 (IK95%: 20,55-23,23).

Status depresi lansia diukur oleh peneliti dengan menggunakan instrumen terstruktur GDS-15 dengan rentang nilai 0 s.d. 15. Hasil pengukuran didapatkan nilai minimum 0 dan nilai maksimum 9, dari rentang tersebut diketahui rata-rata skor yang didapatkan adalah 3,63 (IK95%: 3,03-4,22). Status demensia lansia diukur menggunakan instrumen MMSE dengan rentang nilai 0 - 30. Hasil pengukuran didapatkan nilai minimum 14 dan nilai maksimum 30, dari rentang tersebut diketahui rata-rata skor yang didapatkan adalah 24,84 (IK95%: 23,83-25,86).

3.2. Hubungan variabel depresi, umur, dan demensia dengan disabilitas fungsional

Berdasarkan hasil analisis statistik ternyata kombinasi umur, status depresi dan status demensia memiliki pengaruh yang kuat (r=0,609) terhadap disabilitas fungsional. Variabel demensia menyumbang variasi disabilitas fungsional lansia tertinggi (Beta standardized = -0,378) dibanding variabel umur (Beta standardized = 0,272), dan variabel depresi (Beta standardized = 0,196). Perhitungan determinasi koefisien korelasi (r2) model regresi menghasilkan nilai 0,371 sehingga dapat dikatakan bahwa model regresi memberikan sumbangan efektif terhadap variasi skor GARS lansia sebesar 37,1% sedangkan sisanya (62,9%) merupakan kontribusi faktor-faktor lainnya, yaitu : perilaku tak sehat, dukungan sosial kurang, dan peningkatan risiko morbiditas secara fisik (Lenze, et al., 2001).

Pembahasan berikut adalah keterkaitan kombinasi ketiga variabel terhadap disabilitas fungsional lansia. Pertama, status demensia merupakan faktor utama pada kasus disabilitas fungsioanal lansia. Temuan tersebut sejalan dengan studi McGuire, Ford, dan Ajanivi(2006), bahwa gangguan fungsi kognitif memiliki risiko yang lebih berat dibanding gangguan fungsi afektif. Fungsi kognitif ditemukan sebagai indikator mortalitas dan terdapat pada banyak kasus disabilitas fungsional. Perubahan fungsi kognitif terlihat sebagai gejala awal faktor neurologis dan medis sebelum manifestasi gangguan perilaku sosial muncul (gangguan AKS, gangguan perilaku okupasional, dan gangguan partisipasi sosial)

Kedua, proses penuaan secara normal (penuaan primer) berhubungan dengan kemunduran kapasitas fisiologis, misalnya kekuatan otot, kapasitas aerobik, koordinasi neuromotorik, dan fleksibilitas. Peningkatan disabilitas fungsional yang terkait dengan usia tersebut memiliki risiko terhadap aktivitas fisik yang terbatas. Namun beberapa penelitian Lunney, Lynn & Hogan, 2002; Lunney, Lynn, Foley, Lipson & Guralnik, 2003; Leon, Glass, & Berkman, 2003, menegaskan bahwa proses penuaan sekunder (faktor eksogen) lebih mempercepat proses disabilitas fungsional lansia dibanding penuaan primer (faktor endogen).

Ketiga, relevan dengan penelitian Lenze et al. (2001) serta Penninx, Guralnik, Ferrucci, Simonsick, Daeg dan Wallace (1998) bahwa mekanisme pengaruh depresi terhadap disabilitas fisik dapat dibagi menjadi dua penyebab, yaitu : (1) depresi menyebabkan peningkatan risiko disabilitas fisik dan (2) disabilitas fisik menyebabkan depresi. Depresi di kalangan lansia yang tinggal di panti wredha cenderung mengarah pada kondisi yang kronis, karena potensi diri dan dukungan sosial dari lingkungannya kurang adekuat untuk mengembalikan pada kondisi semula. Pada akhirnya, depresi kronis menyebabkan terganggunya fungsi organ sehingga muncul disabilitas fungsional.

Peneliti menemukan beberapa keterbatasan fisik yang berisiko menimbulkan gejala depresi, misalnya: gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan mobilisasi, kesulitan berpakaian, berjalan terganggu, kesulitan toileting, kesulitan mandi, kesulitan merapikan diri, pola tidur terganggu, kelemahan otot ekstrimitas bawah, dan kelemahan otot ekstrimitas atas (lihat Tabel 2). Ketidaksesuaian antara keinginan dengan fungsi psikomotor dapat mengakibatkan depresi.

Akhirnya, kombinasi ketiga variabel bebas tersebut di atas akan bersifat sinergis terhadap munculnya gejala disabilitas fisik lansia. Model regresi tersebut konsisten dengan temuan berbagai studi Harris, Kovar, Suzman, Kleinman, dan Feldman, 1989; Guralnik, La Croix, dan Abbott, 1993; Rozzini, Frisoni, Ferrucci, Barbisoni, Bertozzi, dan Trabucchi, 1997; Andersen-Ranberg, Christensen, Jeune, Skytthe, Vasegaard, dan Vaupel, 1999; Lee dan Shinkai, 2003; Jitapunkul, Kunanusont, Phoolcharoen, Suriyawongpaisal, dan Ebrahim, 2003; Gool, Kempen, Penninx, Deeg, Beekman, dan Eijk 2003; Furner, Giloth, Arguelles, Miles dan Goldberg, 2004. Dari uraian tersebut kiranya dapat dikatakan bahwa kombinasi umur, status depresi, dan status demensia telah terbukti memiliki hubungan yang bermakna (F=12,997; p=0,000) dengan disabilitas fungsional lansia di PSTW Abiyoso dan PSTW Budi Dharma. Artinya skor GARS atau tingkat disabilitas lansia dapat diprediksi melalui formula : Disabilitas Fungsional Lansia = 16,906 + 0,223*Umur + 0,443*Skor [GDS-15] - 0,499*Skor MMSE.

3.3. Hubungan stresor depresi, umur, dan demensia dengan respons disabilitas fungsional

Urutan besar pengaruh stresor demensia, umur, dan depresi terhadap disabilitas fungsional direpresentasikan dengan besar ukuran panah ketika mempenetrasi ke dalam garis pertahanan klien (Skema 1). Masing-masing garis pertahanan memiliki variabel-variebel fisiologis, psikologis, sosio-budaya, spiritual, dan perkembangan. Demensia, umur dan depresi dalam konteks penelitian ini, memainkan peran penting dalam perubahan variabel fisiologis lansia.

Skema 1.
Model teoritis hubungan stresor demensia, depresi dan umur

dengan respons disabilitas fungsional pada lansia

Faktor antioksidan, sistem kekebalan tubuh, kondisi membrane mukosa dan silia epitel yang berperan sebagai penghalang (barrier) masuknya bibit penyakit merupakan variabel-varibel yang menjaga Garis Pertahanan Fleksibel (GPF) sistem klien. Apabila GPF sukses memberikan proteksi bagi sistem klien maka lansia memiliki kondisi kesehatan yang prima dan produktif (menua aktif). Apabila, stressor berhasil melakukan penetrasi pada ring sistem berikutnya, maka lansia mengalami suatu kondisi yang dapat disejajarkan dengan proses menua patologis atau lansia memiliki risiko mengalami disabilitas fungsional tidak sesuai dengan umur kronologisnya.
Pertahanan berikutnya berada pada Garis Pertahanan Normal (GPN) yang didukung oleh sistem tubuh yang berfungsi secara normal, yaitu: sistem persyarafan, respirasi, kardiovaskuler, perkemihan, integumen, gastrointestinal, muskuloskeletal, penginderaan. Apabila upaya pemulihan (rekonstitusi) sistem klien berhasil mempertahankan diri dari penetrasi stresor maka klien akan kembali kepada kondisi sebelumnya dan kembali memiliki kapasitas fungsional yang sehat.

Apabila GPN tidak bisa membendung penetrasi stressor maka Garis Perlawanan (GP) melakukan aktifasi mekanisme keseimbangan (kompensatori) dan atau perubahan fungsi sistem. Apabila mekanisme kompensatori GP tidak berhasil, maka akan muncul respon disabilitas fungsional pada lansia.

3.4. Matriks proses keperawatan

Matriks proses keperawatan disusun berdasarkan integrasi MSN ke dalam proses keperawatan dengan tetap berpedoman pada model teoritis (Skema 1). Fawcett (2004) menegaskan MSN dapat diaplikasikan pada berbagai area keperawatan dan pemanfaatannya masih bersifat kontekstual sehingga masih diperlukan interpretasi lebih lanjut.

Keterbatasan dan Implikasi Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan, sebagai berikut : (1) Peneliti tidak dapat mengambil variabel-variabel yang kemungkinan memiliki keterkaitan dengan disabilitas fungsional lansia secara komprehensif sehingga peneliti hanya memanfaatkan data penelitian yang telah dikumpulkan dari tahap pre-test; (2) Penelitian ini hanya menggambarkan karakteristik lansia yang tinggal di panti wredha sehingga kurang menggambarkan karakteristik populasi lansia secara keseluruhan; dan (3) Instrumen GARS belum dilakukan uji validitas muka kepada ahli atau uji re-translate.

Penelitian ini memiliki implikasi yang penting bagi ranah pelayanan, pendidikan dan penelitian keperawatan. Perawat perlu mengaplikasikan model konseptual MSN dalam proses keperawatan sesuai dengan ranah pelayanannya (individu, keluarga, atau komunitas). Perawat perlu mengembangkan instrumen pengukuran berdasarkan konsep MSN dengan memperhatikan aspek kesederhanaan, kemudahan, akurasi (valid dan reliabel), serta cocok untuk diaplikasikan sesuai dengan kondisi setempat. Intervensi keperawatan merupakan upaya fasilitasi perawat terhadap klien untuk mengembalikan keseimbangan dalam dirinya (rekonstitusi) sehingga perawat perlu menggunakan pendekatan prevensi primer, sekunder dan tersier. Peneliti keperawatan perlu meningkatkan kemampuan diri dalam menganalisis model konseptual keperawatan. Mengingat, mengadaptasi MSN sebagai grand theory untuk menjelaskan konsep-konsep yang umum digunakan dalam dunia keperawatan, perlu diderivasi dengan menggunakan teori-teori lain (middle range theory) dan diterjemahkan melalui instrumen empiris.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh umur, status depresi dan status demensia terhadap disabilitas fungsional lansia di PSTW Abiyoso dan PSTW Budi Dharma dapat disimpulkan bahwa : (1) kombinasi umur, status depresi dan status demensia dapat digunakan untuk memprediksi disabilitas fungsional lansia dengan persamaan regresi, sebagai berikut : Disabilitas Fungsional Lansia (Skor GARS) = 16,906 + 0,223*Umur + 0,443*Skor GDS15 - 0,499*Skor MMSE; (2) kontribusi terbesar variabel bebas terhadap variasi disabilitas fungsional lansia berturut-turut adalah demensia, umur dan depresi. Temuan penelitian sejalan dan memperkuat berbagai studi tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap disabilitas fungsional pada lansia; dan (3) dalam perspektif MSN, penyebab penurunan disabilitas fungsional: status demensia, umur, dan status depresi dapat dijelaskan sebagai stresor. Respon terhadap stresor diartikan sebagai proses rekonstitusi. Intervensi untuk membantu lansia memperbaiki dan mengoptimalkan disabilitas fungsional fisiknya dikategorikan sebagai upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier.

Peneliti mengharapkan perawat dapat menggunakan proses keperawatan berdasarkan aplikasi MSN di semua area keperawatan, baik pada tataran pelayanan individu, keluarga, kelompok khusus maupun komunitas. Perawat perlu melakukan upaya-upaya prevensi untuk mengurangi risiko disabilitas fisik pada lansia, sebagai berikut: (1) Prevensi primer dengan memperkuat GPF atau memberikan pendidik-an kesehatan kepada lansia dan keluarga tentang: menurunkan risiko stress, latihan kebugaran secara rutin dan teratur, latihan Gerak Latih Otak (GLO), mengaktifkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial ke-masyarakatan, mencari teman berdiskusi atau mengobrol, meman-faatkan pelayanan kesehatan, memanfaatkan asuransi kesehatan/ jaminan sosial, meningkatkan praktek ibadah sehari-hari; (2) Prevensi sekunder dengan memperkuat GP internal atau melakukan intervensi keperawatan dengan penemuan kasus secara dini dan penatalaksanaan gejala awal demensia dan depresi yang muncul; dan (3) Prevensi tersier dengan melindungi upaya rekonstitusi lansia, yaitu: mendorong lansia untuk patuh mengikuti program pengobatan dan rehabilitasi, pendidikan kesehatan kepada lansia dan keluarga untuk mencegah kasus terulang dan melihara stabilitas klien.

Pengelola panti wredha perlu memberikan Senam Gerak Latih Otak, terapi lingkungan (milleu therapy), terapi perilaku (Cognitive Behavior Therapy) untuk memulihkan daya ingat lansia, sedangkan psikoterapi untuk memulihkan status depresinya. Organisasi profesi keperawatan perlu menyusun kompetensi profesi perawat komunitas dan perawat gerontik serta mengembangkan program pendidikan berkelanjutan bagi perawat profesional untuk meningkatkan kompetensi perawat komunitas dalam perawatan lansia.

CATATAN:
1. Halaman Depan
2. BAB I
3. BAB II
4. BAB II (Kerangka Teori)
5. BAB III
6. BAB IV
7. BAB V
8. BAB VI
9. BAB VII
10. Daftar Pustaka
11. Lampiran
12. Publikasi
13. My CV

Kepustakaan :

  1. Andersen-Ranberg, K., Christensen, K., Jeune, B., Skytthe, A., Vasegaard, L., & Vaupel, J.W. (1999). Declining Physical Abilities with Age: a Cross-sectional Study of Older Twins and Centenarians in Denmark. Age and Ageing, 28: 373-377.
  2. Burrows, A.B., Morris, J.N., Simon, S.E., Hirdes, J.P., & Phillips, C. (2000). Development of a Minimum Data Set-based depression rating scale for use in nursing homes. Age and Ageing, 29: 165-172.
  3. Eliopoulos, C. (1997). Gerontological Nursing, Philadelphia: Lippincott-Raven Pub.
  4. Fawcett, J. (2004). Conceptual Models of Nursing: International in Scope and Substance? The Case of the Neuman Systems Model. Nursing Science Quarterly, 17(1): 50-54.
  5. Fawcett, J. & Gigliotti, E. (2001). Using Conceptual Models of Nursing to Guide Nursing Research: The Case of the Neuman Systems Model. Nursing Science Quarterly, 14(4): 339-345.
  6. Furner, S.E., Giloth, B.E., Arguelles, L., Miles, T.P., & Goldberg, J.H. (2004). A Co-Twin Control Study of Physical Function in Elderly African American Women. Jou Aging and Health, 16(1): 28-43.
  7. Gigliotti, E. (1999). Women’s Multiple Role Stress: Testing Neuman’s Flexible Line of Defense. Nursing Science Quarterly, 12(1): 36-44.
  8. Gool, C.H., Kempen, G.I.J.M., Penninx, B.W.J.H., Deeg, D.J.H., Beekman, A.T.F., & van Eijk, J.T.M. (2003). Relationship between changes in depressive symptoms and unhealthy lifestyles in late middle aged and older persons: results from the Longitudinal Aging Study Amsterdam. Age and Ageing, 32: 81-87.
  9. Guralnik, JM., La Croix, A., & Abbott, RD. (1993). Maintaining Mobility in Late Life. Demographic Characteristics and Chronic Conditions. Am J Epidemiol, 137:845-857.
  10. Harris, T., Kovar, M.G., Suzman, R., Kleinman, J.C., & Feldman, J.J. (1989). Longitudinal Study of Physical Ability in the Oldest-old. Am J Public Health, 79: 698-702.
  11. Hall, K.A. & Hassett, A.M. (2002). MJA Practice Essentials — Mental Health : 13. Assessing and managing old age psychiatric disorders in community practice, Med. Jou. of Australia. http://www.mja.com.au. Diunduh pada tanggal 14 November 2003.
  12. Jitapunkul, S., Kunanusont, C., Phoolcharoen, W., Suriyawongpaisal, P., & Ebrahim, S. (2003). Disability-free life expectancy of elderly people in a population undergoing demographic and epidemiologic transition. Age and Ageing, 32: 401-405.
  13. Jorm, A.F. (1994). Disability in dementia: assessment, prevention, and rehabilitation. Disabil Rehabil., 16: 98–109.
  14. Lee, Y. & Shinkai, S. (2003). A comparison of correlates of self-rated health and functional disability of older persons in the Far East: Japan and Korea. Archives of Gerontology and Geriatrics, 37(1): 63-76.
  15. Lemeshow S., Hosmer Jr. D.W., Klar J., & Lwanga S.K. (1990). Adequacy of Sample Size in Health Studies. Chichester : John Wiley & Sons Ltd.
  16. Lenze, E.J., Rogers, J.C., Martire, L.M., Mulsant, B.H., Rollman, B.L., Dew, M.A., Schulz, R., & Reynolds III, C.F. (2001).
  17. The Association of Late-Life Depression and Anxiety With Physical Disability A Review of the Literature and Prospectus for Future Research. Am J Geriatr Psychiatry, 9:113–135.
  18. Leon, C.F.M., Glass, T.A., & Berkman, L.F. (2003). Social Engagement and Disability in a Community Population of Older Adults. Am J Epidemiol, 157(7):633–642.
  19. Lowry, L.W. & Anderson, B. (1993). Neuman's Framework and Ventilator Dependency: A Pilot Study. Nursing Science Quarterly, 6(4): 195-200.
  20. Lueckenotte, A.G. (2000). Gerontologic Nursing. St. Louis: Mosby-Year Book Inc.
  21. Lunney, JR., Lynn, J., Foley, DJ., Lipson, S., & Guralnik, JM. (2003). Patterns of Functional Decline at the End of Life. JAMA, 289(18): 2387-2392.
  22. Lunney, J.R., Lynn, J., & Hogan, C. (2002). Profiles of Older Medicare Decedents. J Am Geriatr Soc, 50: 1108-1112.
  23. McGuire, L.C., Ford, E.S., & Ajani, U.A. (2006). Cognitive Functioning as a Predictor of Functional Disability in Later Life. Am J Geriatr Psychiatry, 14(1): 36-42.
  24. Miller, C.A. (1995). Nursing Care of Older Adults Theory and Practice (2nd ed.). Philadelphia : JB. Lippincott Co.
  25. Neuman, B. & Fawcett, J. (2002). The Neuman systems model (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
  26. Penninx, B.W.J.H., Guralnik, J.M., Ferrucci, L., Simonsick, Daeg, & Wallace. (1998). Depressive Symptoms and Physical Decline in Community-Dwelling Older Persons. JAMA, 279(21): 1720-1726.
  27. Reed, K.S. (1993). Adapting the Neuman System Model for Family Nursing. Nursing Science Quarterly, 6: 93-97.
  28. Roberts, R.E., Kaplan, G.A., Shema, S.J., & Strawbridge, W.J. (1997). Does growing old increase the risk for depression?. Am J Psychiatry, 154(10):1384-1390.
  29. Roccaforte, W.H., Burke, W.J., Bayer, B.L., & Wengel, S.P. (1994). Reliability and validity of the Short Portable Mental Status Questionnaire administered by telephone. J Geriatr Psychiatry Neurol, 7(1): 33-38.
  30. Rozzini, R., Frisoni, G.B., Ferrucci, L., Barbisoni, P., Bertozzi, B., & Trabucchi, M. (1997). The effect of chronic diseases on physical function. Comparison between activities of daily living scales and the Physical Performance Test. Age and Ageing, 26: 281-287.
  31. Stepans, M.B.F. & Fuller, S. G. (1999). Measuring infant exposure to environmental tobacco smoke. Clinical Nursing Research, 8(3): 198-218.
  32. Stepans, M.B.F. & Knight, J.R. (2002). Application of Neuman’s Framework: Infant Exposure to Environmental Tobacco Smoke. Nursing Science Quarterly, 15(4): 327-334.
  33. Sutcliffe, C., Cordingley, L., Challis, D., Mozley, C., Bagley, H., Price, L., Burns, A., & Huxley P. (2000). A new version of the geriatric depression scale for nursing and residential home populations: The Geriatric Depression Scale (Residential) (GDS-12R). International Psychogeriatrics, 12: 173-181.
  34. Suurmeijer, Th.B.P.M, Doeglas, D.M., Mourn T., Briançon, S., Krol, B., Sanderman, R., Guillemin, F., Bjelle, A., & Heuvel, W.J.A. (1994). The Groningen Activity Restriction Scale for measuring disability: Its utility in international comparisons. Am J Public Health, 84: 1270-1273.
  35. Villarruel, A.M., Bishop, T.L., Simpson, E.M., Jemmott, L.S., & Fawcett, J. (2001). Borrowed Theories, Shared Theories, and the Advancement of Nursing Knowledge. Nursing Science Quarterly, 14(2): 158-163.
  36. Yellowlees, P. (2002). MJA Practice Essentials — Mental Health : 1. Psychiatric assessment in community practice, Med. Jou. of Australia. http://www.mja.com.au. Diunduh pada tanggal 14 November 2003.
Baca Selengkapnya - Pengaruh Umur, Depresi dan Demensia Terhadap Disabilitas Fungsional Lansia (Adaptasi Model Sistem Neuman)

Model Kemitraan Keperawatan Komunitas Dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat

iklan
1. Latar Belakang

Pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia yang telah dijalankan selama ini masih memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara pendekatan pembangunan kesehatan masyarakat dengan tanggapan masyarakat, manfaat yang diperoleh masyarakat, dan partisipasi masyarakat yang diharapkan. Meskipun di dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah ditegaskan bahwa tujuan pembangunan kesehatan masyarakat salah satunya adalah meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya.
Oleh karena itu pemerintah maupun pihak-pihak yang memiliki perhatian cukup besar terhadap pembangunan kesehatan masyarakat –termasuk perawat spesialis komunitas— perlu mencoba mencari terobosan yang kreatif agar program-program tersebut dapat dilaksanakan secara optimal dan berkesinambungan.


Salah satu intervensi keperawatan komunitas di Indonesia yang belum banyak digali adalah kemampuan perawat spesialis komunitas dalam membangun jejaring kemitraan di masyarakat. Padahal, membina hubungan dan bekerja sama dengan elemen lain dalam masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang memiliki pengaruh signifikan pada keberhasilan program pengembangan kesehatan masyarakat (Kahan & Goodstadt, 2001). Pada bagian lain Ervin (2002) menegaskan bahwa perawat spesialis komunitas memiliki tugas yang sangat penting untuk membangun dan membina kemitraan dengan anggota masyarakat. Bahkan Ervin mengatakan bahwa kemitraan merupakan tujuan utama dalam konsep masyarakat sebagai sebuah sumber daya yang perlu dioptimalkan (community-as-resource), dimana perawat spesialis komunitas harus memiliki ketrampilan memahami dan bekerja bersama anggota masyarakat dalam menciptakan perubahan di masyarakat.

Terdapat lima model kemitraan yang menurut anggapan penulis cenderung dapat dipahami sebagai sebuah ideologi kemitraan, sebab model tersebut merupakan azas dan nafas kita dalam membangun kemitraan dengan anggota masyarakat lainnya. Model kemitraan tersebut antara lain: kepemimpinan (manageralism) (Rees, 2005), pluralisme baru (new-pluralism), radikalisme berorientasi pada negara (state-oriented radicalism), kewirausahaan (entrepreneurialism) dan membangun gerakan (movement-building) (Batsler dan Randall, 1992). Berkaitan dengan praktik keperawatan komunitas di atas, maka model kemitraan yang sesuai untuk mengorganisasi elemen masyarakat dalam upaya pengembangan derajat kesehatan masyarakat dalam jangka panjang adalah model kewirausahaan (entrepreneurialism). Model kewirausahaan memiliki dua prinsip utama, yaitu prinsip otonomi (autonomy) –kemudian diterjemahkan sebagai upaya advokasi masyarakat—dan prinsip penentuan nasib sendiri (self-determination) yang selanjutnya diterjemahkan sebagai prinsip kewirausahaan.

Menurut penulis model kewirausahaan memiliki pengaruh yang strategis pada pengembangan model praktik keperawatan komunitas dan model kemitraan dalam pengorganisasian pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia. Praktik keperawatan mandiri atau kelompok hubungannya dengan anggota masyarakat dapat dipandang sebagai sebuah institusi yang memiliki dua misi sekaligus, yaitu sebagai institusi ekonomi dan institusi yang dapat memberikan pembelaan pada kepentingan masyarakat terutama berkaitan dengan azas keadilan sosial dan azas pemerataan bidang kesehatan. Oleh karenanya praktik keperawatan sebagai institusi sangat terpengaruh dengan dinamika perkembangan masyarakat (William, 2004; Korsching & Allen, 2004), dan perkembangan kemasyarakatan tentunya juga akan mempengaruhi bentuk dan konteks kemitraan yang berpeluang dikembangkan (Robinson, 2005) sesuai dengan slogan National Council for Voluntary Organizations (NCVO) yang berbunyi : “New Times, New Challenges” (Batsler dan Randall, 1992).

Pada bagian lain, saat ini mulai terlihat kecenderungan adanya perubahan pola permintaan pelayanan kesehatan pada golongan masyarakat tertentu dari pelayanan kesehatan tradisional di rumah sakit beralih ke pelayanan keperawatan di rumah disebabkan karena terjadinya peningkatan pembiayaan kesehatan yang cukup besar dibanding sebelumnya (Depkes RI, 2004a, 2004b; Sharkey, 2000; MacAdam, 2000). Sedangkan secara filosofis, saat ini telah terjadi perubahan “paradigma sakit” yang menitikberatkan pada upaya kuratif ke arah “paradigma sehat” yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Sehingga situasi tersebut dapat dijadikan peluang untuk mengembangkan praktik keperawatan komunitas beserta pendekatan kemitraan yang sesuai di Indonesia.

Tulisan ini mencoba untuk: (1) mengidentifikasi model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat; (2) menganalisis kemanfaatan model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat; dan (3) mengidentifikasi implikasi model pada pengembangan kebijakan keperawatan komunitas dan promosi kesehatan.

2. Pengembangan Kesehatan Masyarakat

Nies dan Mc. Ewan (2001) mendeskripsikan pengembangan kesehatan masyarakat (community health development) sebagai pendekatan dalam pengorganisasian masyarakat yang mengkombinasikan konsep, tujuan, dan proses kesehatan masyarakat dan pembangunan masyarakat. Dalam pengembangan kesehatan masyarakat, perawat spesialis komunitas mengidentifikasikan kebutuhan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan kemudian mengembangkan, mendekatkan, dan mengevaluasi tujuan-tujuan pembangunan kesehatan melalui kemitraan dengan profesi terkait lainnya (Nies & Mc.Ewan, 2001; CHNAC, 2003; Diem & Moyer, 2004; Falk-Rafael, et al.,1999).

Bidang tugas perawat spesialis komunitas tidak bisa terlepas dari kelompok masyarakat sebagai klien termasuk sub-sub sistem yang terdapat di dalamnya, yaitu: individu, keluarga, dan kelompok khusus. Menurut Nies dan McEwan (2001), perawat spesialis komunitas dalam melakukan upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status kesehatan masyarakat dapat menggunakan alternatif model pengorganisasian masyarakat, yaitu: perencanaan sosial, aksi sosial atau pengembangan masyarakat. Berkaitan dengan pengembangan kesehatan masyarakat yang relevan, maka penulis mencoba menggunakan pendekatan pengorganisasian masyarakat dengan model pengembangan masyarakat (community development).

Tujuan dari penggunaan model pengembangan masyarakat adalah (1) agar individu dan kelompok-kelompok di masyarakat dapat berperan-serta aktif dalam setiap tahapan proses keperawatan, dan (2) perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) dan kemandirian masyarakat yang dibutuhkan dalam upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status kesehatannya di masa mendatang (Nies & McEwan, 2001; Green & Kreuter, 1991). Menurut Mapanga dan Mapanga (2004) tujuan dari proses keperawatan komunitas adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian fungsional klien / komunitas melalui pengembangan kognisi dan kemampuan merawat dirinya sendiri. Pengembangan kognisi dan kemampuan masyarakat difokuskan pada dayaguna aktifitas kehidupan, pencapaian tujuan, perawatan mandiri, dan adaptasi masyarakat terhadap permasalahan kesehatan sehingga akan berdampak pada peningkatan partisipasi aktif masyarakat (Lihat Gambar 1).

Gambar 1. Partisipasi klien sebagai Luaran Kesehatan pada Praktik Keperawatan Komunitas

Sumber : Kudakwashe G. Mapanga dan Margo B. Mapanga (2004) halaman 275


Perawat spesialis komunitas perlu membangun dukungan, kolaborasi, dan koalisi sebagai suatu mekanisme peningkatan peran serta aktif masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi implementasi upaya kesehatan masyarakat. Anderson dan McFarlane (2000) dalam hal ini mengembangkan model keperawatan komunitas yang memandang masyarakat sebagai mitra (community as partner model). Fokus dalam model tersebut menggambarkan dua prinsip pendekatan utama keperawatan komunitas, yaitu (1) lingkaran pengkajian masyarakat pada puncak model yang menekankan anggota masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan kesehatan, dan (2) proses keperawatan.

Asumsi dasar mekanisme kolaborasi perawat spesialis komunitas dengan masyarakat tersebut adalah hubungan kemitraan yang dibangun memiliki dua manfaat sekaligus yaitu meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dan keberhasilan program kesehatan masyarakat (Kreuter, Lezin, & Young, 2000). Mengikutsertakan masyarakat dan partisipasi aktif mereka dalam pembangunan kesehatan dapat meningkatkan dukungan dan penerimaan terhadap kolaborasi profesi kesehatan dengan masyarakat (Schlaff, 1991; Sienkiewicz, 2004). Dukungan dan penerimaan tersebut dapat diwujudkan dengan meningkatnya sumber daya masyarakat yang dapat dimanfaatkan, meningkatnya kredibilitas program kesehatan, serta keberlanjutan koalisi perawat spesialis komunitas-masyarakat (Bracht, 1990).

3. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat

Menurut Hitchcock, Scubert, dan Thomas (1999) fokus kegiatan promosi kesehatan adalah konsep pemberdayaan (empowerment) dan kemitraan (partnership). Konsep pemberdayaan dapat dimaknai secara sederhana sebagai proses pemberian kekuatan atau dorongan sehingga membentuk interaksi transformatif kepada masyarakat, antara lain: adanya dukungan, pemberdayaan, kekuatan ide baru, dan kekuatan mandiri untuk membentuk pengetahuan baru. Sedangkan kemitraan memiliki definisi hubungan atau kerja sama antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan atau memberikan manfaat (Depkes RI, 2005). Partisipasi klien/masyarakat dikonseptualisasikan sebagai peningkatan inisiatif diri terhadap segala kegiatan yang memiliki kontribusi pada peningkatan kesehatan dan kesejahteraan (Mapanga & Mapanga, 2004)

Pemberdayaan, kemitraan dan partisipasi memiliki inter-relasi yang kuat dan mendasar. Perawat spesialis komunitas ketika menjalin suatu kemitraan dengan masyarakat maka ia juga harus memberikan dorongan kepada masyarakat. Kemitraan yang dijalin memiliki prinsip “bekerja bersama” dengan masyarakat bukan “bekerja untuk” masyarakat, oleh karena itu perawat spesialis komunitas perlu memberikan dorongan atau pemberdayaan kepada masyarakat agar muncul partisipasi aktif masyarakat (Yoo et. al, 2004). Membangun kesehatan masyarakat tidak terlepas dari upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas, kepemimpinan dan partisipasi masyarakat (Nies & McEwan, 2001), namun perawat spesialis komunitas perlu membangun dan membina jejaring kemitraan dengan pihak-pihak yang terkait (Robinson, 2005), misalnya: profesi kesehatan lainnya, penyelenggara pemeliharaan kesehatan, Puskesmas, donatur / sponsor, sektor terkait, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat.

Berdasarkan hubungan elemen-elemen di atas, maka penulis mencoba untuk merumuskan sebuah model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat yang dijiwai oleh ideologi entrepreneurialisme (Gambar 2).

Gambar 2. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat

Model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat merupakan suatu paradigma yang memperlihatkan hubungan antara beberapa konsep penting, tujuan dan proses dalam tindakan pengorganisasian masyarakat yang difokuskan pada upaya peningkatan kesehatan (Hickman, 1995 dalam Nies & McEwan, 2001). Konsep utama dalam model tersebut adalah kemitraan, kesehatan masyarakat, nilai dan kepercayaan yang dianut, pengetahuan, partisipasi, kapasitas dan kepemimpinan yang didasarkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip kewirausahaan dan advokasi masyarakat.

4. Ideologi Entrepreneurialisme dalam Kemitraan Keperawatan Komunitas

Profesi perawat memiliki implikasi pada pengembangan praktik keperawatan yang profesional, etis dan legal (PPNI, 2004) sehingga profesi perawat berhak menyelenggarakan praktik secara mandiri atau berkelompok. Berdasarkan tugas dan fungsi perawat spesialis komunitas tersebut, penulis berpandangan bahwa perawat spesialis komunitas dalam membina kemitraan di masyarakat perlu memiliki ideologi kewirausahaan (entrepreunership) sebab segala tindakan dan kebijakan yang diambil selalu berkaitan dinamika perubahan kehidupan masyarakat, baik kehidupan sosial, ekonomi, dan politik (William, 2004; Korsching & Allen, 2004).

Menurut Batsleer dan Randall (1992) ideologi entrepreneurialisme memiliki dua karakter, yaitu: prinsip otonomi (autonomy) dan penentuan nasib sendiri (self determination). Dalam prinsip otonomi, perawat spesialis komunitas berupaya membela dan memperjuangkan hak-hak dan keadilan masyarakat dalam sistem pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, perawat spesialis komunitas memainkan perannya sebagai advokator (pembela) dan mitra (partner) bagi kliennya (masyarakat) (Stanhope & Lancaster, 1997). Sedangkan dalam prinsip penentuan nasib sendiri, perawat sebagai profesi berhak untuk melaksanakan praktik legal yang dapat diselenggarakan secara mandiri maupun berkelompok sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1239 tahun 2001. Praktik keperawatan komunitas sebagai institusi perlu dijalankan secara profesional agar dapat bertahan menghadapi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang dinamis.

4.1. Advokasi

Walaupun istilah advokasi mempunyai banyak definisi, dua definisi di bawah ini mengandung konsep-konsep utama advokasi hak asasi manusia (hak masyarakat) yang esensial. Pengertian pertama advokasi sebagai segala aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran publik di antara para pengambil-keputusan dan khalayak umum atas sebuah masalah atau kelompok masalah, dalam rangka menghasilkan berbagai perubahan kebijakan dan perbaikan situasi (Black, 2002, hal.11). Pengertian kedua, advokasi keadilan sosial, yaitu upaya pencapaian hasil-hasil yang berpengaruh – meliputi kebijakan-publik dan keputusan-keputusan alokasi sumber daya dalam sistem dan institusi politik, ekonomi, dan sosial – yang mempengaruhi kehidupan banyak orang secara langsung (Cohen et al., 2001, hal. 8).

4.2. Kewirausahaan

Definisi kewirausahaan adalah individu (kelompok) yang dapat mengidentifikasi kesempatan berdasarkan kemampuan, keinginan, dan kepercayaan yang dimilikinya serta membuat pertimbangan dan keputusan yang berkaitan dengan upaya menyelaraskan sumber daya dalam pencapain keuntungan personal (Otuteye & Sharma, 2004). Perawat spesialis komunitas dapat dianggap sebagai institusi penyedia layanan keperawatan. Sehingga untuk menggambarkan faktor-faktor institusi yang dapat mempengaruhi etos kewirausahaan perawat spesialis komunitas, Penulis menggunakan kerangka kerja Douglass C. North dalam Mary Jesselyn Co (2004). Kerangka kerja tersebut menganalisis bagaimana institusi dan perubahan institusi berdampak pada penampilan ekonominya.


Gambar 3. Beberapa faktor yang mempengaruhi etos kewirausahaan

Sumber : Mary Jesselyn Co (2004) halaman 188.

Kemitraan antara perawat spesialis komunitas dan pihak-pihak terkait dengan masyarakat digambarkan dalam bentuk garis hubung antara komponen-komponen yang ada. Hal ini memberikan pengertian perlunya upaya kolaborasi dalam mengkombinasikan keahlian masing-masing yang dibutuhkan untuk mengembangkan strategi peningkatan kesehatan masyarakat. Pihak-pihak terkait yang dapat dibina hubungannya dengan perawat spesialis komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat, adalah :
  1. Profesi kesehatan lainnya, misalnya dokter, ahli gizi, sanitarian, bidan/bidan di desa, atau fisioterapist.
  2. Puskesmas
  3. Organisasi Penyelenggara Pemeliharaan Kesehatan (PPK) atau Health Maintenance Organization (HMO). Organisasi PPK memberikan jaminan pelayanan keperawatan dan pelayanan profesi kesehatan lainnya dengan prinsip managed care. Managed care yaitu suatu integrasi antara pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatan yang tepat guna untuk menjamin anggota masyarakat (Thabrany, 2000a). Pembiayaan managed care menggunakan sistem kapitasi (Thabrany, 2000b).
  4. Donatur / sponsor, merupakan badan atau lembaga yang dapat memberikan bantuan finansial baik secara sukarela atau mengikat untuk program pengembangan kesehatan masyarakat.
  5. Lintas sektor terkait, merupakan institusi formal (birokrasi) yang terkait dengan upaya pengembangan kesehatan masyarakat dari tingkat teknis lapangan sampai ke tingkat kabupaten/kota. Misalnya: Pemerintah Daerah, Bappeda, Dinas Pertanian / Peternakan, BKKBN, PDAM, Dinas Pekerjaan Umum, dan lain-lain.
  6. Organisasi masyarakat formal dan informal, misalnya: Organisasi Muhammadiyah/Aisyah, Nahdlatul Ulama/Fatayat NU, Lembaga Swadaya Masyarakat, TP-PKK, kelompok pengajian, kelompok arisan, dasa wisma, dan lain-lain.
  7. Tokoh masyarakat atau tokoh agama yang memiliki pengaruh kuat di tengah masyarakat (key persons).

Kesehatan masyarakat digambarkan sebagai bangun segitiga beserta unsur partisipasi, kapasitas, dan kepemimpinan (Nies & Mc. Ewan, 2001). Partisipasi berkaitan dengan peran serta aktif seluruh komponen masyarakat, yaitu individu, keluarga, kelompok risiko tinggi, dan sektor terkait lainnya, dalam upaya perencanaan dan peningkatan derajat kesehatan secara komprehensif. Kapasitas memiliki makna tingkat pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan anggota masyarakat secara keseluruhan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Sedangkan kepemimpinan mengindikasikan kemampuan mempengaruhi anggota masyarakat dalam meningkatkan fungsionalnya pada pengembangan kesehatan masyarakat. Masyarakat memerlukan pemimpin yang dapat mengorganisasikan, bertanggungjawab, dan memobilisasi anggota masyarakat lain untuk lebih berperan aktif dalam pengembangan kesehatannya.
Garis panah penghubung masing-masing unsur dalam bangun segitiga menggambarkan tingkat pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai panutan masyarakat yang berpengaruh terhadap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Fokus utama model adalah masyarakat atau komunitas secara keseluruhan. Tiga tanda panah yang mengarah pada “Kesehatan Masyarakat” memberikan makna adanya interaksi berbagai unsur dalam model untuk mencapai tujuan bersama yaitu masyarakat yang sehat. Menurut Nies dan Mc. Ewan (2001), terminologi “kesehatan masyarakat” dalam pembangunan kesehatan masyarakat memiliki dua pengertian. Pertama, digunakan untuk menggambarkan pencapaian kualitas kesehatan yang diinginkan atau dampak dari upaya pengembangan kesehatan masyarakat (outcome indicators). Dan kedua, sebagai perangkat utama untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan masyarakat (input indicators dan process indicators).

5. Analisis Kemanfaatan Model Kemitraan Keperawatan Komunitas

Berdasarkan penjelasan model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan komunitas, maka perlu dianalisis dari beberapa aspek, yaitu :

5.1. Keperawatan Spesialis Komunitas
  1. Dapat dikembangkannya model praktik keperawatan komunitas yang terintegrasi antara praktik keperawatan dengan basis riset ilmiah.
  2. Mengenalkan model praktik keperawatan komunitas.
  3. Meningkatkan proses berpikir kritis dan pengorganisasian pengembangan kesehatan masyarakat
  4. Meningkatkan jejaring dan kemitraan dengan masyarakat dan sektor terkait
  5. Meningkatkan legalitas praktik keperawatan spesialis komunitas
  6. Mendorong praktik keperawatan komunitas yang profesional
5.2. Sistem Pendidikan Keperawatan Komunitas
  1. Memperbaiki sistem pendidikan keperawatan spesialis komunitas yang profesional dan aplikatif
  2. Meningkatkan kepercayaan diri perawat pada umumnya dan perawat spesialis komunitas pada khususnya
  3. Menunjukkan peran baru perawat spesialis komunitas
  4. Sejak awal mahasiswa keperawatan komunitas dikenalkan dengan kegiatan intervensi keperawatan pada pengembangan kesehatan masyarakat, yaitu: kolaborasi, kemitraan dan mengembangkan jaringan kerja.
  5. Meningkatkan kesiapan mahasiswa pendidikan keperawatan spesialis komunitas dalam praktik keperawatan komunitas
  6. Merumuskan bentuk pembelajaran keperawatan komunitas yang inovatif
5.3. Regulasi
  1. Mendorong para pengambil kebijakan dan elemen-elemen yang terkait lainnya untuk memberikan perhatian dan dukungan pada model praktik keperawatan komunitas.
  2. Mendorong pemerintah mengeluarkan regulasi yang dapat memberikan jaminan pada penyelenggaraan praktik keperawatan komunitas yang profesional
  3. Mendorong terbentuknya sistem monitoring dan evaluasi yang efisien dan efektif
5.4. Sistem Pelayanan Kesehatan
  1. Memperkenalkan dan meningkatkan sistem praktik keperawatan komunitas sebagai Sub Sistem Kesehatan Nasional
  2. Meningkatkan jaringan kerja pelayanan kesehatan yang berbasis rumah sakit dan masyarakat
  3. Meningkatkan jaringan kerja pelayanan keperawatan komunitas dengan elemen-elemen dalam masyarakat
  4. Mengarahkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada paradigma sehat atau mengutamakan upaya preventif dan promotif
  5. Mempercepat pencapaian Indonesia Sehat 2010 melalui Kabupaten/Kota Sehat, Kecamatan Sehat, dan Desa Sehat.
  6. Menurunkan angka pelayanan di rumah sakit
  7. Membentuk model praktik keperawatan komunitas bagi daerah-daerah lain di Indonesia
  8. Meningkatkan sistem informasi kesehatan masyarakat berbasis pelayanan keperawatan
  9. Meningkatkan jaringan kerja dengan spesialisasi keperawatan lainnya
5.5. Masyarakat
  1. Meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan
  2. Meningkatkan pelayanan pasca kesakitan (pasca hospitalisasi) pada masyarakat.
  3. Meningkatkan peran serta aktif individu, keluarga, kelompok khusus, dan masyarakat dalam pengembangan kesehatan masyarakat.
  4. Meningkatkan kapasitas, partisipasi, dan kepemimpinan anggota masyarakat dalam pengembangan kesehatan masyarakat.
  5. Meningkatkan kolaborasi, kemitraan, dan jaringan kerja antar elemen masyarakat dalam pengembangan kesehatan masyarakat.
  6. Meningkatkan pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat dalam hidup berperilaku sehat.
  7. Meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat masyarakat terutama upaya kesehatan mandiri yang bersifat preventif dan promotif.
  8. Menurunkan insidensi penyakit menular berbasis masyarakat dan lingkungan.

6. Implikasi Model pada Pengembangan Kebijakan Keperawatan Komunitas dan Promosi Kesehatan

6.1. Implikasi model pada pengembangan kebijakan keperawatan komunitas


Berdasarkan kompleksitas bidang tugas keperawatan komunitas terutama dalam membangun kolaborasi, kemitraan dan jaringan kerja dengan elemen masyarakat lainnya, maka perlu :
  1. Didorong penyusunan Undang-undang tentang Profesi Perawat
  2. Disusun Kode Etik dan Standar Kompetensi Perawat Spesialis Komunitas Indonesia
  3. Disusun Standar Pelayanan Praktik Keperawatan Komunitas
  4. Disusun Sistem Keperawatan Komunitas termasuk sistem pendidikan berkelanjutan
  5. Dibentuk kolegia perawat spesialis komunitas untuk meningkatkan standar mutu pelayanan
  6. Dibentuk suasana praktik keperawatan komunitas yang berbasis pada penelitian ilmiah
  7. Menyusun integrasi antara sistem pendidikan perawat spesialis komunitas dengan praktik perawat spesialis komunitas.
6.2. Implikasi model pada promosi kesehatan
  1. Meningkatkan peran dan fungsi perawat spesialis komunitas sebagai koordinator, kolaborator, penghubung, advokat, penemu kasus, pemimpin, pemberi pelayanan keperawatan, role model, pengelola kasus, referal resource, peneliti, community care agent dan change agent.
  2. Memberikan pelayanan keperawatan berupa asuhan keperawatan/ kesehatan Individu, keluarga, kelompok, masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan serta pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka kemandirian di bidang keperawatan/ kesehatan
  3. Meningkatnya kolaborasi, kemitraan dan jaringan kerja perawat spesialis komunitas dengan masyarakat maupun elemen masyarakat terkait lainnya.
  4. Meningkatnya upaya preventif dan promotif dibanding upaya kuratif dan rehabilitatif.
  5. Meningkatnya tiga upaya preventif (tindakan pencegahan)
7. Penutup

Fokus praktik keperawatan komunitas adalah individu, keluarga, kelompok khusus dan masyarakat. Pengorganisasikan komponen masyarakat yang dilakukan oleh perawat spesialis komunitas dalam upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status kesehatan masyarakat dapat menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat (community development). Intervensi keperawatan komunitas yang paling penting adalah membangun kolaborasi dan kemitraan bersama anggota masyarakat dan komponen masyarakat lainnya, karena dengan terbentuknya kemitraan yang saling menguntungkan dapat mempercepat terciptanya masyarakat yang sehat.

“Model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat” merupakan paradigma perawat spesialis komunitas yang relevan dengan situasi dan kondisi profesi perawat di Indonesia. Model ini memiliki ideologi kewirausahaan yang memiliki dua prinsip penting, yaitu kewirausahaan dan advokasi pada masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan azas keadilan sosial dan azas pemerataan.

Dalam tulisan ini telah disajikan analisis mengenai kemanfaatan model kemitraan keperawatan komunitas terhadap: keperawatan spesialis komunitas, sistem pendidikan keperawatan komunitas, regulasi, sistem pelayanan kesehatan, dan masyarakat serta implikasi model terhadap pengembangan kebijakan keperawatan komunitas dan promosi kesehatan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA:
  1. Anderson, E.T. & J. McFarlane, 2000. Community as Partner Theory and Practice in Nursing 3rd Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
  2. Black, M. 2002. A Handbook on Advocacy – Child Domestic Workers: Finding a Voice. Anti-Slavery International. Sussex, UK: The Printed Word.
  3. Bracht, N. (Ed.). 1990. Health promotion at the community level. Newbury Park, CA: Sage.
  4. Co, M.J. 2004. The Formal Institutional Framework of Entrepreneurship in the Philippines: Lessons for Developing Countries. The Journal of Entrepreneurship, 13 (2): 185-203.
  5. Cohen, E. 1996 Nurse Case Management in the 21st Century. St. Louis: Mosby-Year Book. Inc.
  6. Cohen, D., de la Vega, R., & Watson, G. 2001. Advocacy for Social Justice: A Global Action and Reflection Guide. Bloomfield, CT: Kumarian Press.
  7. Community Health Nurses Association of Canada. 2003. Canadian community health nursing standards of practice. Ottawa: Author.
  8. Depkes RI. 2004a. Kajian Sistem Pembiayaan, Pendataan dan Kontribusi APBD untuk Kesinambungan Pelayanan Keluarga Miskin (Exit Strategy). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
  9. Depkes RI. 2004b. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
  10. Depkes RI. 2005. Kemitraan. Pusat Promosi Kesehatan http://www. promokes.go.id, diunduh pada tanggal 25 September 2005.
Baca Selengkapnya - Model Kemitraan Keperawatan Komunitas Dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat

Pendidikan Kesehatan Dalam Pengelolaan Diabetes Secara Mandiri (Diabetes Self-Management Education) Bagi Diabetisi Dewasa

iklan
A. Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat tubuh mengalami gangguan dalam mengontrol kadar gula darah. Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh sekresi hormon insulin tidak adekuat atau fungsi insulin terganggu (resistensi insulin) atau justru gabungan dari keduanya. Secara garis besar DM dikelompokkan menjadi 2 tipe, yaitu : DM tergantung pada insulin (DM tipe-1) dan non-DM tergantung pada insulin (DM tipe-2) (Stevens, 2002). Perbedaan karakteristik paling mencolok dari penderita DM tipe-1 atau tipe-2 adalah umur saat terjadinya penyakit DM (Soewondo, 2006). Pada umumnya, DM tipe-1 terjadi pada seseorang dengan usia di bawah 40 tahun bahkan separuhnya didiagnosis pada usia kurang dari 20 tahun. Sebaliknya, DM tipe-2 sebagian besar didiagnosis pada usia di atas 30 tahun, separuh dari kasus baru DM tipe-2 terjadi pada kelompok umur 55 tahun atau lebih. Oleh karenanya, DM tipe-2 lebih dikenal sebagai penyakit DM yang menyerang kaum dewasa (Parmet, 2004).

Risiko DM meningkat sejalan dengan bertambahnya usia dan memiliki kontribusi yang besar terhadap morbiditas dan mortalitas seseorang (ADA, 1998). DM tipe-2 memiliki hubungan dengan mortalitas pada berbagai kelompok umur bahkan dua kali lipat dibandingkan populasi non-diabetes; umur harapan hidup akan menurun 5 sampai 10 tahun pada kelompok umur pertengahan (Poulsen, 1998). Bahkan menurut penelitian di Inggris, lebih dari 80% pasien berumur ≥ 45 tahun yang baru didiagnosis mengidap DM setelah 10 tahun diobservasi ternyata memiliki risiko komplikasi penyakit jantung koroner >5%, 73% (45% sampai 92%) memiliki penyakit hipertensi, dan 73% (45% sampai 92%) memiliki konsentrasi kholesterol >5 mmol/l (Lawrence et al., 2001).


DM disebut sebagai penyakit kronis sebab DM dapat menimbulkan perubahan yang permanen bagi kehidupan seseorang. Penyakit kronis tersebut memiliki implikasi yang luas bagi lansia maupun keluarganya, terutama munculnya keluhan yang menyertai, penurunan kemandirian lansia dalam melakukan aktivitas keseharian, dan menurunnya partisipasi sosial lansia. Perawat komunitas sejak awal dapat berperan dalam meminimalisasi perubahan potensial pada sistem tubuh pasien. Beberapa penelitian eksperimental memperlihatkan bahwa perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap perilaku pasien (Tagliacozzo D.M., et.al., 1974). Salah satu peran yang penting guna mendorong masyarakat terutama lansia adalah agar lansia dan keluarga mampu memahami kondisi lansia diabetisi sehingga dapat melakukan perawatan diri secara mandiri (self-care). Tulisan ini mencoba untuk membahas sebuah model pendidikan kesehatan dalam pengelolaan diabetes secara mandiri (Diabetes self-management education/DSME).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Meningkatkan pengertian dan kemampuan pengelolaan penyakit secara mandiri dalam kontrol metabolisme, mencegah komplikasi akut maupun kronis, serta mengoptimalkan kualitas hidup para lansia diabetisi dan keluarganya (Weerdt, Visser, & Veen, 1989; Clement, 1995).

2. Tujuan Khusus

  • Meningkatkan pengetahuan lansia diabetisi dan keluarganya tentang diabetes mellitus dan pengelolaannya (Padgett et al., 1988; Fernando, 1993).
  • Meningkatkan status psikososial lansia diabetisi dan keluarganya: kepercayaan dan sikap terhadap program pengobatan dan mekanisme koping (Padgett et al., 1988; Brown, 1990).
  • Meningkatkan perilaku sehat lansia diabetisi dan keluarganya: monitoring kadar gula darah secara mandiri, perencanaan makan (diet), latihan jasmani dan istirahat yang cukup, konsumsi obat hipoglikemik, dan menghindari rokok (Norris et al., 2002; Toobert, et al., 2003).

C. Diabetes Self-Management Education (DSME)

Beberapa penelitian mencatat bahwa 50–80% diabetisi memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang kurang dalam mengelola penyakitnya (Norris, Engelgau, & Narayan, 2001; Palestin, Ermawan, & Donsu, 2005), dan kontrol terhadap kadar gula darah ideal (HbA1c<7.0%)>

DSME merupakan proses pendidikan kesehatan bagi individu atau keluarga dalam mengelola penyakit diabetes (Task Force to Revise the National Standards,1995) yang telah dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh Joslin Diabetes Center (Bartlett,1986). DSME menggunakan metode pedoman, konseling, dan intervensi perilaku untuk meningkatkan pengetahuan mengenai diabetes dan meningkatkan ketrampilan individu dan keluarga dalam mengelola penyakit DM (Jack et al., 2004). Pendekatan pendidikan kesehatan dengan metode DSME tidak hanya sekedar menggunakan metode penyuluhan baik langsung maupun tidak langsung namun telah berkembang dengan mendorong partisipasi dan kerjasama diabetisi dan keluarganya (Funnell et al.,1991; Glasgow & Anderson,1999).

Intervensi DSME diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan lansia diabetisi dan keluarganya tentang diabetes mellitus dan pengelolaannya (Padgett et al., 1988; Fernando, 1993) serta meningkatkan status psikososial lansia diabetisi dan keluarganya berkaitan dengan kepercayaan dan sikap terhadap program pengobatan dan mekanisme koping (Padgett et al., 1988; Brown, 1990). Menurut Badruddin et al. (2002), diabetisi yang diberikan pendidikan dan pedoman dalam perawatan diri akan meningkatkan pola hidupnya yang dapat mengontrol gula darah dengan baik. Badruddin et al. sekaligus mengingatkan bahwa pendidikan kesehatan akan lebih efektif bila petugas kesehatan mengenal tingkat pengetahuan, sikap dan kebiasaan sehari-hari klien tersebut.

Selanjutnya, intervensi DSME yang dapat meningkatkan aspek kognisi dan afeksi diabetisi dan keluarganya secara simultan akan mempengaruhi peningkatan perilaku sehat diabetisi. Perilaku sehat tersebut terdiri dari monitoring kadar gula darah secara mandiri, perencanaan makan (diet), latihan jasmani dan istirahat yang cukup, konsumsi obat hipoglikemik, dan menghindari rokok. Hasil jangka pendek yang diharapkan adalah terkontrolnya tekanan darah (<140/90>

Skema 1. Kerangka pikir Model Diabetes Self-Management Education

Bentuk oval adalah intervensi, kotak dengan sudut lengkung mengindikasikan sebagai hasil antara, dan kotak dengan sudut lancip adalah hasil jangka pendek dan jangka panjang. Sumber : Norris SL, Nichols PJ,
Caspersen CJ, Glasgow RE, Engelgau MM, Jack L, et al. (2002)

Jack, et al. (1999) berdasarkan studi review sistematis selanjutnya menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan intervensi DSME dalam konteks komunitas, adalah : faktor komunitas, organisasi, lingkungan fisik, lingkungan sosial, dukungan sosial (keluarga dan jejaring sosial), dan faktor individu (psikologis, biomedis, dan perilaku) (lihat skema 2). Faktor-faktor komunitas, terdiri dari: sosial budaya, sumber daya masyarakat, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Faktor organisasi yang berpengaruh yaitu pemerintah, sekolah, lembaga swadaya masyarakat, pelayanan kesehatan, dan swasta. Faktor lingkungan fisik terdiri dari lingkungan di dalam dan luar rumah, fasilitas publik, dan sarana transportasi. Faktor lingkungan sosial terdiri dari norma sosial, ekosistem, kondisi ekonomi, budaya setempat, dan kebijakan publik. Faktor dukungan sosial dari keluarga dan sosial. Faktor individu terdiri dari tiga aspek, yaitu kondisi psikologis, biomedis, dan perilaku.

Skema 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Diabetes Self-Management Education

C. Implikasi DSME dalam keperawatan komunitas

  1. Peran perawat komunitas adalah mendorong kemandirian lansia diabetisi dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pengelolaan DM sehingga keluhan dan gejala penyakit DM berkurang serta mencegah komplikasi akut dan kronis yang dapat menyerang pembuluh darah, jantung, ginjal, mata, syaraf, kulit, kaki, dan sebagainya sehingga kualitas hidup lansia diabetisi lebih optimal.
  2. Intervensi keperawatan DSME pada kelompok khusus dapat diimplementasikan pada posbindu atau kelompok lansia diabetisi.
  3. Pendekatan komunikasi terapeutik dapat berperan sebagai pembangun struktur komunikasi yang terapeutik, sehingga klien akan mudah memahami dan melaksanakan program pengobatan yang telah direncanakan untuknya.
  4. Intervensi keperawatan DSME diberikan untuk menjaga stabilitas klien, ketersediaan sumber energi sistem, dan dukungan terhadap klien untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
  • Prevensi primer, antara lain deteksi dini DM maupun adanya risiko komplikasi DM, pemeriksaan teratur kadar gula darah secara mandiri, perawatan kaki, latihan kaki dan perencanaan makan (diet). Prevensi primer termasuk melakukan strategi promosi kesehatan bilamana faktor risiko telah terdekteksi namun reaksi klien belum muncul.
  • Prevensi sekunder, yaitu konsumsi obat hipoglikemik sesuai dosis pengobatan.
  • Prevensi tersier, yaitu latihan jasmani secara teratur, istirahat yang cukup, menghindari stress, dan menghindari rokok.

D. Penutup

1. Simpulan

Perawat komunitas memiliki peran yang penting guna mendorong masyarakat terutama lansia untuk mampu memahami kondisinya sehingga dapat melakukan perawatan diri secara mandiri (self-care) melalui intervensi DSME. Intervensi DSME berupaya untuk meningkatkan aspek kognisi, afektif dan ketrampilan pengelolaan DM lansia diabetisi dan keluarganya sehingga keluhan dan gejala penyakit DM berkurang serta mencegah komplikasi akut dan kronis sehingga diharapkan kualitas hidup lansia diabetisi dapat lebih optimal.

Pada tahapan ini, perawat komunitas perlu meningkatkan perannya dengan mengambil titik awal pada pemberdayaan kesehatan keluarga. Perawatan komunitas yang berfokus pada keluarga memiliki makna strategis dan berbagai manfaat, yaitu : meningkatnya tanggungjawab sektor publik terhadap peningkatan kesehatan komunitas (Weiner, 2000), pembiayaan perawatan di rumah lebih mudah dikendalikan (Cuellar & Weiner, 2000), serta perawatan berfokus pada keluarga lebih efektif dan bermanfaat bagi kesehatan komunitas (Weissert &amp;amp;amp;amp; Hedrick, 1994; Weissert et al., 1997; Breakwell, 2004).

2. Saran

  • Perawat komunitas perlu meningkatkan ketrampilan DSME dan komunikasi terapeutik untuk meningkatkan ketaatan lansia diabetisi dan keluarganya dalam pengelolaan diabetes.
  • Perawat komunitas perlu menentukan indikator keberhasilan intervensi DSME dalam lingkup keluarga maupun komunitas melalui performa aktivitas sehari-hari, pencapaian tujuan intervensi keperawatan, perawatan mandiri, adaptasi, dan partisipasi klien dalam kehidupan sosialnya.
  • Perawat komunitas harus mampu mengenal dan mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan DSME di tingkat keluarga maupun komunitas.
  • Perawat komunitas harus mampu menggali dan mengelola kekuatan keluarga, sumber daya keluarga serta supra sistem keluarga dalam pelaksanaan DSME.

Referensi :

  1. Almatsier, S. (Ed). (2006). Penuntun Diet Edisi Baru Instalasi Gizi Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
  2. American Diabetes Association. (1998). Economic consequences of diabetes mellitus in the U.S. in 1997. Diabetes Care, 21:296–309.
  3. American Diabetes Association. (2001a). Standards of medical care for patients with diabetes mellitus (Position Statement). Diabetes Care, 24 (Suppl. 1):S33–S43.
  4. American Diabetes Association. (2001b). Tests of glycemia in diabetes (Position Statement). Diabetes Care 24 (Suppl. 1):S80–S82.
  5. Badruddin, N., Basit, A., Hydrie, M.Z.I., & Hakeem, R., (2002). Knowledge, Attitude and Practices of Patients Visiting a Diabetes Care Unit, Pakistan Jou of Nut, 1(2): 99-102.
  6. Bartlett, E. (1986). Historical glimpses of patient education in the United States. Patient Educ Counsel, 8:135–149.
  7. Breakwell, S. (2004). Connecting New Nurses and Home Care. Home Health Care Management & Practice, 16(2): 117-21.
  8. Brown, S. (1990). Studies of educational interventions and outcomes in diabetic adults: a meta-analysis revisited. Patient Educ Counsel, 16:189 –215.
  9. Clement, S., (1995). Diabetes self-management education. Diabetes Care, 18:1204–1214.
  10. Cuellar, AE & J. Weiner. 2000. Can Social Insurance for Long-Term Care Work? The Experience of Germany. Health Affairs 19(3): 8-25.
  11. Elshaw, EB, Young, EA, Saunders, MJ, McGurn, WC, Lopez, LC. (1994). Utilizing a 24-hour dietary recall and culturally specific diabetes education in Mexican Americans with diabetes. Diabetes Educ., 20:228-35. [PMID: 7851238]
  12. Feeley, N. & Gottlieb, L.N. (2000). Nursing Approaches for Working With Family Strengths and Resources. Journal Of Family Nursing, 6(1), 9-24.
  13. Fernando, D. (1993). Knowledge about diabetes and metabolic control in diabetic patients. Ceylon Med J 38:18 –21.
  14. Funnell, M., Anderson, R., Arnold, M., Barr, P., Donnelly. M., Johnson, P. (1991). Empowerment: an idea whose time has come in diabetes education. Diabetes Educ, 17:37–41.
  15. Glasgow, R., & Anderson R,. (1999). In diabetes care, moving from compliance to adherence is not enough: something entirely different is needed. Diabetes Care, 22:2090–2091.
  16. Harris, MI., Eastman, RC., Cowie, CC., Flegal, KM., & Eberhardt, MS. (1999). Racial and ethnic differences in glycemic control of adults with type 2 diabetes. Diabetes Care, 22:403–408.
  17. Jack Jr., L., Liburd, L., Spencer, T., & Airhihenbuwa, C.O. (2004).Understanding the Environmental Issues in Diabetes Self-Management Education Research: A Reexamination of 8 Studies in Community-Based Settings. Ann Intern Med., 140:964-971.
  18. Jack, L. Jr, Liburd, L., Vinicor, F., Brody, G., & Murry, VM. (1999). Influence of the environmental context on diabetes self-management: a rationale for developing a new research paradigm in diabetes education. Diabetes Educ., 25:775-7, 779-80, 782 passim. [PMID: 10646474]
  19. Lawrence, JM., Bennett, P., Young, A., & Robinson, AM . (2001). Screening for diabetes in general practice: cross sectional population study. BMJ, 323: 548-551.
  20. Mapanga, K.G. & Mapanga, M.B. (2004).A Community Health Nursing Perspective of Home Health Care Management and Practice. Home Health Care Management & Practice, 16(4): 271-279.
  21. Norris, S.L., Engelgau, M.M., & Narayan, K.M.V., (2001). Effectiveness of Self-Management Training in Type 2 Diabetes A systematic review of randomized controlled trials. Diabetes Care, 24(3): 561-587.
  22. Norris, S.L., Lau, J., Smith, S.J., Schmid, C.H., & Engelgau, M.M. (2002). Self-Management Education for Adults With Type 2 Diabetes A meta-analysis of the effect on glycemic control. Diabetes Care, 25:1159–1171.
  23. Norris SL, Nichols PJ, Caspersen CJ, Glasgow RE, Engelgau MM, Jack L, et al. (2002). Increasing diabetes self-management education in community settings. A systematic review. Am J Prev Med., 222(4 Suppl):39-66. [PMID: 11985934]
  24. Padgett, D., Mumford, E., Hynes, M., & Carter, R. (1988), Meta-analysis of the effects of educational and psycholosocial interventions on management of diabetes mellitus. J Clin Epidemiol, 41:1007–1030.
  25. Palestin, B., Ermawan, B., & Donsu, JDT. (2005). Penerapan Komunikasi Terapeutik Untuk Mengoreksi Perilaku Klien Rawat Jalan Dengan Diabetes Mellitus, Jurnal Teknologi Kesehatan 1(1): 1-10.
  26. Parmet, S., (2004). Weight Gain and Diabetes. JAMA, 292(8): 998.
  27. Stevens, LM. (2002). The ABCs of Diabetes. JAMA, 287(19): 2608.
  28. Soewondo, P. (2006). Hidup Sehat dengan Diabetes. Panduan bagi penyandang diabetes, keluarganya dan petugas kesehatan. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  29. Tagliacozzo D.M., Luskin D.B., Lashof J.C. & Ima K., Nurse Intervention and Patient Behavior, Am. Jou. Public Health 1974, Vol. 64 No. 6.
  30. Task Force to Revise the National Standards. (1995). National standards for diabetes self-management education programs. Diabetes Educ, 21:189–193.
  31. Thomas Mandrup­Poulsen. (1998).Recent advances Diabetes. BMJ, 316: 1221-1225.
  32. Toobert, D.J., Glasgow, R.E., Strycker, L.A., Barrera Jr., M., Radcliffe, J.L., Wander, R.C., & Bagdade, J.D.(2003). Biologic and Quality-of-Life Outcomes From the Mediterranean Lifestyle Program A randomized clinical trial. Diabetes Care,26:2288–2293.
  33. Weerdt, I., Visser, A., & Veen, E. (1989). Attitude behavior theories and diabetes education programmes. Patient Educ Counsel, 14:3–19.
  34. Weiner, J. (2000). Prediction: Long-Term Care in the Next Decade. Caring Magazine (June): 16-8.
  35. Weissert, W & SC Hedrick. (1994). Lessons Learned from Research on Effects of Community-Based Long-Term Care. Journal of the American Geriatrics Society 42: 348-53.
  36. Weissert, W, T Lesnick, M Musliner, & K Foley. (1997). Cost Savings from Home and Community-Based Services: Arizona’s Capitated Medicaid Long-Term Care Program. Journal of Health Politics, Policy and Law 22(6): 1329-57.
"
Baca Selengkapnya - Pendidikan Kesehatan Dalam Pengelolaan Diabetes Secara Mandiri (Diabetes Self-Management Education) Bagi Diabetisi Dewasa

P-PROCESS

iklan
P-PROCESS: "Agar pengembangan program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) lebih efisien dan efektif perlu dilakukan 5 tahap :

Gb.1. P - PROCESS
Kelima tahapan ini saling berkait dan merupakan proses yang berkesinambungan.
TAHAP I : ANALISIS KHALAYAK DAN PROGRAM
1.Meninjau khalayak potensial
2.Mengkaji kebijaksanaan dan program yang ada
3.Mencari lembaga atau organisasi yang potensial untuk mendukung program
4.Mengevaluasi sumber daya KIE

Di dalam analisis khalayak sasaran yang ditinjau adalah :
Ø Khalayak sasaran (lingkungan sosial) untuk menentukan faktor-faktor demografi, geografi, ekonomi, dan sosial yang berpengaruh terhadap kegiatan KIE
Dalam analisis program yang ditinjau adalah :
Ø Kebijaksanaan, program dan kegiatan-kegiatan yang telah ada
Ø Kemampuan lembaga atau organisasi yang potensial untuk mendukung program
Ø Kapasitas sumber daya KIE untuk bisa digunakan

TAHAP II : PENYUSUNAN RANCANGAN PROGRAM

1. Menentukan tujuan komunikasi
2. Mengidentifikasi khalayak sasaran
3. Mengembangkan pesan
4. Memilih media
5. Merencanakan dukungan, penguatan interpersonal
6. Menyusun rencana kegiatan

Penyusunan rancangan program dapat diidentifikasi dan ditentukan melalui 8 komponen rumusan :
Ø Menentukan tujuan
Ø Mengidentifikasikan khalayak sasaran
Ø Pengembangan pesan
Ø Pemilihan media
Ø Memperkuat dukungan antar pribadi
Ø Jadwal kerja
Ø Anggaran
Ø Struktur organisasi

TAHAP III : PENGEMBANGAN, UJI COBA, PENYEMPURNAAN DAN PRODUKSI MEDIA

1. Mengembangkan konsep pesan
2. Melakukan pre-test atau uji coba terhadap khalayak sasaran
3. Merumuskan pesan lengkap dan bentuk kemasannya
4. Melakukan pre-test atau uji coba tahap lanjutan terhadap khalayak sasaran
5. Melakukan uji ulang terhadap bahan KIE yang ada (sudah pernah dibuat dan akan diproduksi ulang)

TAHAP IV : PENERAPAN DAN PEMANTAUAN

1. Mengelola iklim organisasi
2. Menerapkan rencana kegiatan
3. Memantau hasil program

Pengelola program harus terampil dalam memutuskan tiga hal :
Ø Mengelola iklim organisasi : pendekatan untuk menjangkau sasaran program harus belajar dari pengalaman, tidak mengkritik
Ø Mengelola manusia : mengetahui kapan harus memberi petunjuk, kapan harus mendelegasikan tanggungjawab dan kapan harus mendorong staf untuk berkarya yang kreatif
Ø Mengelola tugas : mendorong dalam mengejar kegiatan yang produktif dan menghentikan kegiatan yang tidak produktif serta mengetahui bahwa menghentikan kegiatan yang tidak produktif seringkali lebih efisien

Langkah-langkah penerapan adalah :
Ø Memproduksi pesan final dan materi berdasarkan hasil pre-test
Ø Menjadwalkan dan mengintegrasikan penyebaran materi melalui jalur yang efektif untuk mendapatkan dampak yang maksimal
Ø Melatih tenaga yang akan menggunakan materi KIE
Ø Mengedarkan jadwal penerapan program dan laporan-laporan secara luas

Langkah-langkah pemantauan adalah :
Ø Memantau jumlah produksi bahan KIE
Ø Memantau penyebaran di media dan melalaui komunikasi antar pribadi
Ø Memantau struktur internal dan ketaatan petugas, jadwal kerja dan anggaran
Ø Memantau dan memperkuat hubungan kerja dengan lembaga lain termasuk petugas kesehatan dan organisasi yang telah mendukung maupun yang belum
Ø Membuat revisi yang diperlukan untuk penyempurnaan rancangan

TAHAP V : EVALUASI DAN RANCANG ULANG

1. Mengukur dampak keseluruhan
2. Menyusun rancangan ulang untuk periode berikutnya

Langkah – langkah yang ditempuh adalah :
Ø Mengukur dan melacak kesadaran, pengenalan, pemahaman, mengingat kembali dan praktek dengan menggunakan teknik riset yang sesuai dan dapat dijangkau untuk mendapatkan umpan balik yang cepat dan tepat
Ø Melakukan analisis hasil yang diperoleh, disesuaikan dengan tujuan yang spesifik saat merancang Program K3 menelaah dan menganalisis kumpulan informasi yang didapat pada setiap tahap proses
Ø Melakukan analisis dampak proyek dari kaca mata khalayak, organisasi penyandang dana dan pihak lain yang terkait
Ø Mengidentifikasi perubahan yang signifikan atau berarti pada lingkup nasional
Ø Mengidentifikasi peluang-peluang dan kelemahan - kelemahan
Ø Mengevaluasi ketrampilan yang diperoleh personil
Ø Mengestimasi sumber daya yang mendukung di masa yang akan dating
Ø Mendesain ulang kegiatan-kegiatan KIE secara berkesinambungan
Ø Melakukan penilaian ulang data untuk digunakan pada program baru

* BERKESINAMBUNGAN

Ø Buat rancangan dalam bentuk proses yang berkesinambungan
Ø Selalu sesuaikan dengan perubahan menurut kebutuhan khalayak

PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGEMBANGAN KIE DENGAN PENDEKATAN P-PROCESS

1. Pendekatan interdisipliner
2. Koordinasi dengan pihak penyedia layanan
3. Segmentasi khalayak sasaran
4. Pre-test dengan khalayak sasaran
5. Jalur ganda untuk memperkuat
6. Keterlibatan lintas sector
7. Pemantauan secara sistimatis dan penyesuaian
8. Kesinambungan

CATATAN:
Adaptasi dari The Johns Hopkins University, Population Communication Services, Center for Communication Programs (JHU/PCS)
Baca Selengkapnya - P-PROCESS

Rapid Health Assessment (RHA) Pasca Gempa Bumi 27 Mei 2006 di Kabupaten Bantul, Yogyakarta

iklan
Gempa tektonik telah mengguncang wilayah Propinsi D.I. Yogyakarta dan sekitarnya pada hari Sabtu tanggal 27 Mei 2006 pukul 5:53:58. Menurut laporan National Earthquake Information Center, United States Geological Survey (USGS), gempa berkekuatan 5,9 SR tersebut terletak di wilayah daratan Kabupaten Bantul (25 km arah Timur Laut Kota Yogyakarta) pada 7,962°LS dan 110,458°BT di kedalaman 10 km.

Peristiwa tersebut memiliki dampak yang cukup signifikan bagi status kesehatan masyarakat di wilayah gempa terutama Kabupaten Bantul. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya penanggulangan masalah kesehatan melalui langkah-langkah tanggap darurat. Salah satu upaya tersebut adalah dilaksanakannya penilaian cepat (rapid health assessment/RHA) untuk mengetahui besaran masalah kesehatan yang dihadapi dan kebutuhan pelayanan kesehatan di daerah bencana. Hasil penilaian cepat ini dapat digunakan untuk memantapkan berbagai upaya kesehatan pada tahap tanggap darurat.

Sebagai wujud tanggap darurat terhadap bencana ini, Politeknik Kesehatan Yoyakarta beserta relawan dari Politeknik Kesehatan dan jajaran kesehatan yang lainnya mengambil inisiatif penanggulangan dalam bentuk mendirikan posko kesehatan, imunisasi TT massal dan penilaian cepat. Kegiatan ini dimulai pada tanggal 29 Mei s.d. 15 Juni 2006.

Penilaian cepat kesehatan dilakukan pada tanggal 15 Juni 2006 hanya di lima kecamatan terpilih di wilayah Bantul yaitu : Kecamatan Pleret, Banguntapan, Jetis, Pundong, dan Sewon. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengetahui besar masalah kesehatan dan risiko penyakit yang akan datang sebagai akibat bencana gempa. Kajian assesmen kesehatan akibat bencana di Provinsi DIY melipui aspek keadan umum dan lingkungan, derajad kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan kesehatan. Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan oleh berbagai pihak terkait dalam upaya bersama memulihkan sistem kesehatan di Provinsi DIY khususnya.
Tercatat 55,6% Puskesmas Induk dan Perawatan dari 27 unit yang ada di Kabupaten Bantul mengalami kerusakan berat, begitu juga dengan kondisi Puskesmas Pembantu (53,6%) dan Rumah Dinas Dokter dan Paramedis (64,8%).

Rerata umur responden 28 tahun (IK95% : 26 – 30). Sebagian besar responden adalah perempuan (52,9%) dan sebagai ibu rumah tangga (73,3%). Hampir sepertiga responden pernah mengenyam pendidikan SD (31,9%) dan SLTP (31,4%).

Responden yang memiliki anggota keluarga cedera akibat gempa bumi sebesar 40,0% (IK95%: 29,26 - 50,74). Sebagian besar letak cedera korban bencana gempa bumi berada di daerah kepala (15,7%; IK95% : 5,13 - 26,28), tangan (11,3%; IK95% 4,85 - 17,66) dan kaki (11,1%; IK95% : 8,01 - 14,26). Pada saat survei dilakukan 3,4% (IK95% : 1,33 - 5,56) anggota keluarga yang cedera mengalami infeksi dan perlu penanganan perawatan luka yang lebih adekuat.

Survei memperlihatkan masih banyak masyarakat yang mengobati dirinya sendiri di rumah (30,2%; IK 95% : 3,80 - 56,57) atau bahkan luka didiamkan saja (6,6%; IK 95% : 2,95 - 10,26). Anggota keluarga responden yang sedang menjalani rawat inap di fasilitas kesehatan sebesar 7,7% (IK 95% : 2,93 - 12,54), anggota keluarga yang menjalani rawat jalan di fasilitas kesehatan sebesar 13,8% (IK 95% : 8,61 - 18,93).

Keluarga yang memiliki ibu hamil pada saat survei dilakukan sebesar 29,1% (IK 95%: 25,09 – 34,07) dengan rata-rata usia ibu hamil 29,4 tahun (IK 95%: 25,87 - 32,85). Mereka memiliki rata-rata umur kehamilan 21,4 bulan (IK 95%: 16,93 -25,87). Terdapat 16,0%( IK 95%:13,49 - 18,51) ibu hamil yang menderita status gizi kurang (KEK).

Keluarga yang memiliki ibu baru melahirkan hanya 5,24% (IK95%: 2,31 - 8,17), dimana waktu bersalin sebagian besar ditolong oleh dokter (72,73%; IK95% : 70,35 - 75,11) di rumah sakit (72,73%; IK95% : 70,36 - 75,10).

Sebagian besar responden memiliki anak balita (63,55%; IK95%: 2,31 - 8,17), dengan rata-rata usia balita 28,9 bulan. Namun terdapat anak balita yang menderita gizi kurang (20,8%;IK95%:19,99 - 21,64) dan buruk (4,6%; IK95%: 3,74 - 5,40) yang perlu mendapat perhatian dan monitoring lebih besar bagi petugas kesehatan.
Pada saat survei dilakukan, ketersediaan cadangan bahan makanan pokok masih bisa mencukupi kebutuhan keluarga untuk 14,1 hari (IK95%: 7,53 - 20,63), sedangkan bahan makanan lain masih bisa mencukupi untuk kebutuhan selama satu minggu kecuali buah-buahan (3,0 hari;IK95%: 0,75 - 5,17).

Gempa bumi dahsyat telah menghancurkan sebagian besar rumah penduduk di lokasi survei atau 81,8% (IK95%: 48,55 - 114,99). Bahkan tidak ada rumah yang tidak rusak meskipun hanya rusak ringan (3,1%; IK95% : -1,30 – 7,44).

Sebagian besar penduduk masih mengandalkan sumber air bersih dari sumur (70,4%; IK95% : 44,74 - 96,03), meskipun ada sebagian kecil penduduk dengan kualitas fisik sumur yang tidak memenuhi syarat kesehatan (4,8%; IK95% : -14,63 - 24,16).

Hampir dua minggu setelah kejadian gempa bumi tanggal 27 Mei 2006, sudah banyak lingkungan responden yang telah mendapatkan bantuan kesehatan dari berbagai instansi atau LSM namun bantuan pengasapan (fogging) untuk mengurangi populasi nyamuk baru 47,6% (IK95% : 39,71-55,53), penyemprotan (spraying) untuk membunuh bibit penyakit berbahaya 20,0% (IK9%% : 2,71-37,29), dan upaya pengolahan air hanya 21,9% (IK95% : -5,00-48,81).

Dari data di lapangan maka perlu disusun rekomendasi sebagai berikut :

Pelayanan Kesehatan Masyarakat
  1. Merencanakan kegiatan Puskesmas keliling atau perawat keliling (mobile nursing) untuk kurun waktu tertentu sebagai dukungan sementara terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat.
  2. Perlu tenaga fisioterapi untuk memberikan pelayanan perawatan pemulihan bagi penduduk pasca cedera.
  3. Perlu pemenuhan ketersediaan bahan pangan bagi penduduk kelompok berisiko terkena masalah kesehatan, khusunya program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi balita dan ibu hamil.
  4. Revitalisasi pelayanan Bidan di Desa untuk mendukung program Kesehatan Ibu dan Anak.
  5. Revitalisasi tenaga Higien Sanitasi untuk menangani sanitasi lingkungan yang tidak sehat.
  6. Perlu penanganan psikiatri bagi masyarakat yang mengalami trauma.

Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular

  1. Melaksanakan tindak lanjut asesmen kesehatan dengan melakukan surveilans penyakit menular untuk memperkuat sistem surveilans rutin.
  2. Mempertimbangkan langkah antisipasi munculnya penyakit diare, typhus abdominalis, DHF, campak, dan tetanus mengingat sanitasi lingkungan yang kurang higienis.

Kemampuan sumber daya kesehatan untuk mendukung tahap rehabilitasi, revitalisasi dan rekonstruksi bidang kesehatan

  1. Membangun kembali dan merenovasi Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang hancur dan rusak.
  2. Melengkapi Puskesmas dan Puskesmas Pembantu dengan peralatan yang sesuai standard.
Baca Selengkapnya - Rapid Health Assessment (RHA) Pasca Gempa Bumi 27 Mei 2006 di Kabupaten Bantul, Yogyakarta

Konsep Duka Cita Menurut Model Betty Neuman

iklan

ABSTRACT

Much has been written in the professional and popular literature about grief. The multiplicity of sources for information about the phenomenon often leads to confusion regarding terminology and process. In addition, assessment and intervention methods show the phenomenon as unidimensional despite evidence to the contrary. Because nursing routinely deals with grief, it is important that a framework be developed to help understand the process and guide appropriate interventions. The Neuman systems model is particularly well suited as a framework because concepts found in the model are similar to descriptions of the concept of grief. An analHysis of the grief concept using the Neuman model is presented, with perinatal grief presented as an example.

Keywords: concept analysis, grief, Neuman systems model, perinatal grief




PENDAHULUAN

Konsep kehilangan dan berduka (duka cita) telah secara luas dipublikasikan di berbagai textbook maupun jurnal sejak 50 tahun yang lalu. Dari pemikiran klasik Bowlby (1980) tentang perasaan cinta dan kehilangan (attachment and loss) sampai dengan penjelasan mengenai kepedihan (poignant) dari C.S. Lewis (1994). Perawat jarang sekali mendalami perasaan duka cita yang sedang dialami oleh kliennya, meskipun duka cita adalah sebuah pengalaman universal dalam diri manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian mengenai struktur pengalaman duka cita yang dialami oleh klien dan pengkajian tentang kompleksitas perilaku seseorang yang terkait dengan pengalaman duka cita agar kita dapat memahami proses duka cita tersebut dan menyusunnya dalam terminologi yang terukur.

Tulisan ini berupaya untuk menyajikan konsep duka cita berdasarkan pendekatan dengan model Neuman (Neuman,1982). Penggunaan model asuhan keperawatan yang berorientasi pada proses secara holistik akan dapat membantu kita untuk memahami secara jelas mengenai proses, perilaku, dan tanggapan manusia terhadap duka cita yang sedang dialaminya.

BATASAN

Duka cita bermakna kesedihan yang mendalam disebabkan karena kehilangan seseorang yang dicintainya (misal kematian). Menurut Cowles dan Rodgers (2000), duka cita dapat digambarkan sebagai berikut :

  1. Duka cita dilihat sebagai suatu keadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah. Duka cita tidak berbanding lurus dengan keadaan emosi, pikiran maupun perilaku seseorang. Duka cita adalah suatu proses yang ditandai dengan beberapa tahapan atau bagian dari aktivitas untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu : (1) menolak (denial); (2) marah (anger); (3) tawar-menawar (bargaining); (4) depresi (depression); dan (5) menerima (acceptance) (TLC, 2004) . Pekerjaan duka cita terdiri dari berbagai tugas yang dihubungkan dengan situasi ketika seseorang melewati dampak dan efek dari perasaan kehilangan yang telah dialaminya. Duka cita berpotensi untuk berlangsung tanpa batas waktu.
  2. Pengalaman duka cita bersifat individu dan dipengaruhi oleh banyak faktor, kemudian dapat mempengaruhi aspek kehidupan lainnya. Duka cita lebih dari sekedar tetesan air mata, dimana ia memanifestasikan dirinya sendiri dalam kesadaran, fisik, tingkah laku, jiwa, psikologis, dan kehidupan sosial seseorang, seperti halnya perilaku emosional.
  3. Duka cita bersifat normatif namun tidak ada kesepakatan universal yang bisa menjelaskan sejauhmana kondisi normalnya. Perawat seringkali merasakan adanya sesuatu yang membatasi duka cita klien sehingga tidak sesuai dengan apa yang perawat pikirkan; penghalang tersebut berasal dari latar belakang sosial budaya klien yang mendorong terciptanya berbagai macam respon duka cita (Cowles& Rodgers, 2000, pp. 109-110).Dengan memanfaatkan literatur dari berbagai disiplin ilmu sebagai basis analisis, Cowles and Rodgers (1991) mendefinisikan duka cita sebagai “suatu proses dinamis, menyebar, dan sangat individual dengan komponen yang bersifat normatif” (p. 121). Atribut duka cita yang dikembangkan mencakup hal-hal sebagai berikut : dinamis, proses, individual, menyebar, dan normatif (Cowles & Rodgers, 2000). Namun atribut-atribut tersebut belum menghasilkan suatu variabel yang dapat diukur. Menurut Reed (2003), perlu dilakukan eksplorasi lebih lanjut tentang berbagai aspek duka cita yang lebih spesifik dan operasional.

PARADIGMA KEPERAWATAN DALAM MODEL SISTEM NEUMAN

Model sistem Neuman (Neuman & Fawcett, 2002) mempunyai empat komponen utama yang dapat digambarkan sebagai interaksi antar ranah (domain), yaitu : orang, lingkungan, kesehatan, dan ilmu keperawatan. Komponen dan terminologi yang terkait dengan ranah-ranah tersebut adalah :

  1. Sistem klien : struktur dasar, garis penolakan, garis pertahanan normal, dan garis pertahanan fleksibel.
  2. Lingkungan : internal, eksternal, diciptakan, dan stressor.
  3. Kesehatan : rentang sehat-sakit (wellness-illness continuum)
  4. Keperawatan : upaya pencegahan (preventif), konstitusi ulang (reconstitution), promosi kesehatan .

Neuman (1995) menguraikan model keperawatan sebagai suatu konsep berdasarkan sistem yang komprehensif. Hal ini menempatkan klien dalam suatu perspektif sistem yang holistik dan multi-dimensi. Model digambarkan sebagai gabungan dari lima variabel yang saling berinteraksi, idealnya berfungsi secara harmonis dan stabil dalam kaitannya dengan stressor lingkungan internal maupun eksternal yang sedang dirasakan pada saat tertentu oleh klien sebagai sebuah sistem.

1. Manusia (Klien)

Sistem klien terdiri dari satu rangkaian lingkaran konsentris yang mengelilingi dan melindungi struktur dasar (basic structure). Tingkatan dari masing-masing lingkaran memiliki tugas pertahanan spesifik dan terdiri dari lima variabel, yaitu : (1) fisiologis, (2) psikologis, (3) perkembangan, (4) sosial budaya, dan (5) rohani. Lingkaran terjauh atau garis pertahanan fleksibel (flexible line of defense) merupakan pertahanan awal untuk melawan stressor dan penyangga kondisi kesehatan yang normal. Garis pertahanan normal (normal line of defense) adalah basis yang dimanfaatkan oleh sistem klien untuk menghindari dampak dari stressor, dimana tergantung dari kondisi kesehatan seseorang. Garis-garis perlawanan (lines of resistance) melindungi struktur dasar bilamana suatu stressor dapat melampaui garis pertahanan fleksibel dan garis pertahanan normal (Neuman, 1995).


Variabel-variabel yang membangun sistem klien, menurut Neuman (1995) antara lain : variabel fisiologis, psikologis, sosial budaya, rohani, dan perkembangan. Variabel-variabel tersebut dibentuk berdasarkan pengalaman masa lalu dan material yang sudah ada dalam struktur dasar, mereka saling berinteraksi satu sama lain dan unik dalam setiap sistem klien. Susunan variabel kemudian akan diteruskan melalui keluarga dan masyarakat, dengan jalan tersebut sistem klien memelihara karakteristiknya dari satu generasi ke generasi lainnya (Reed, 2003).

2. Lingkungan (Stressor)

Menurut Neuman (1995), stressor dalam konteks lingkungan klien dapat disebabkan oleh berbagai faktor eksternal atau internal, dan dapat berdampak negatif maupun positif bagi seseorang. Stressor dapat dirasakan oleh klien secara berulang, sehingga klien akan merespon dan akan memodifikasi atau mengubahnya. Terdapat tiga hal yang dapat membedakan dampak stressor terhadap sistem klien, yaitu : kekuatan stressor, jumlah stressor, dan elastisitas garis pertahanan fleksibel. Stressor lingkungan dapat diklasifikasikan sebagai : (1) intra-personal, (2) inter-personal, dan (3) ekstra-personal. Keberadaannya dalam diri klien sama halnya dengan stressor yang ada di luar sistem klien.

3. Keperawatan (Rekonstitusi)

Rekonstitusi menggambarkan suatu upaya pengembalian dan perbaikan stabilitas sistem yang selalu menyertai tindakan perawatan reaksi stress klien, dimana dapat menghasilkan tingkat kesehatan yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada sebelumnya (Neuman, 1995). Sebelumnya Neuman (1989) mendefinisikan rekonstitusi sebagai suatu kondisi adaptasi terhadap stressor lingkungan internal maupun eksternal, dimana dapat dimulai dari derajat atau tingkat reaksi apapun. Rekonstitusi ditandai dengan beberapa tahapan aktivitas untuk menuju tujuan yang diinginkan.

MENGINTEGRASIKAN MODEL SISTEM NEUMAN DENGAN KONSEP DUKA CITA

Model Sistem Neuman (1982) dapat digunakan untuk menjelaskan kerangka konsep duka cita. Variabel yang tidak bisa dipisahkan dalam sistem klien, yaitu : fisiologis, psikologis, rohani, perkembangan, dan sosial budaya, dapat digunakan untuk menguraikan atribut dari duka cita. Kehilangan di masa lalu dapat dijelaskan sebagai sebuah stressor, dan akibat dari duka cita diartikan sebagai suatu proses yang serupa dengan konsep Neuman yaitu rekonstitusi. Intervensi untuk membantu klien dalam menghadapi pengalaman duka cita dapat dikategorikan sebagai upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Reed, 2003).

Penggunaan terminologi dari teori Neuman untuk menguraikan konsep duka cita dimulai dengan terlebih dahulu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang muncul sebelumnya. Dalam terminologi Neuman, kejadian di masa lalu merupakan stressor, dan dalam kasus duka cita, stressor adalah perasaan kehilangan. Perasaan kehilangan mungkin bersifat intra-personal (misalnya : kehilangan salah satu anggota badan, kehilangan peran atau fungsi), interpersonal (misalnya : berpisah dengan pasangannya, anak, atau orangtua), atau ekstra-personal (misalnya: hilangnya pekerjaan, rumah, atau hilangnya lingkungan yang dikenal). Neuman (1995) menyatakan bahwa dampak dari stressor dapat didasarkan pada dua hal, yaitu : kekuatan stressor dan banyaknya stressor.

Modifikasi terhadap respon duka cita diidentifikasi sebagai kombinasi dari beberapa pengalaman yang bersifat individual dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang terdiri dari hubungan antara orang yang berduka dengan obyek yang hilang, sifat alami dari kehilangan, dan kehadiran sistem pendukung (support system). Faktor-faktor lain memiliki efek yang kuat pada perasaan duka cita, seperti pengalaman individu yang sama sebelumnya, kepercayaan spiritual dan budaya yang dianut. Penjelasan mengenai modifikasi respon duka cita sama halnya dengan gagasan Neuman mengenai interaksi antar variabel (fisik, psikologis, sosial budaya, perkembangan, dan rohani). Kombinasi beberapa variabel yang unik pada diri seseorang (pengalaman sebelumnya dengan duka cita, nilai-nilai, kepercayaan spiritual, status fisiologis, batasan sosial budaya, dan yang lainnya) dapat dibandingkan dengan variabel-variabel yang menyusun garis pertahanan normal (normal lines of defense) dan garis perlawanan. Masing-masing garis pertahanan dan garis perlawanan memodifikasi pada tingkatan tertentu dimana stressor mempunyai efek yang negatif pada diri seseorang. Garis pertahanan normal membantu sistem klien untuk menyesuaikan dengan stres akibat kehilangan; garis perlawanan bertindak sebagai kekuatan untuk membantu klien kembali ke kondisi yang stabil. Faktor yang lain, seperti pengalaman individu sebelumnya dengan perasaan kehilangan dan duka cita, budaya, dan kepercayaan religius menjadi bagian dari struktur dasar individu. Garis pertahanan dan perlawanan melindungi struktur dasar dari gangguan stres yang menimpa individu (Reed, 1993).

Cowles dan Rodgers (1993) sebelumnya telah mendefinisikan kondisi respon seseorang yang normal terhadap perasaan duka cita. Namun, penjelasan mengenai batasan normal dan batas waktu proses duka cita tersebut sebagian besar didasarkan pada pandangan dan pengetahuan perawat bukan berasal dari klien yang sedang mengalaminya sendiri. Reed (2003) mencoba untuk mendeskripsikannya tidak hanya sebatas pada respon normal saja, namun sampai pada cakupan respon itu sendiri. Serupa dengan Neuman (1995) yang telah menggunakan teori rentang sehat-sakit (wellness-illness continuum) untuk mendefinisikan batasan sehat. Dimana, rentang sehat-sakit menempatkan kondisi kesehatan seseorang yang optimal pada titik tertentu dan kondisi sakit pada titik yang lain. Kesehatan klien disamakan dengan kemampuan klien untuk memelihara stabilitas yang optimal dan hal itu dilihat sebagai batasan normal. Respon terhadap perasaan duka cita, selanjutnya dapat ditentukan dari efek kehilangan pada tingkat energi tertentu yang dibutuhkan untuk memelihara stabilitas klien. Berbagai macam tingkatan reaksi duka cita dapat diamati, tergantung pada kemampuan untuk mengelola perasaan kehilangan dan efeknya dalam kehidupan klien (Reed, 2003).

Akibat dari perasaan duka cita bagi seseorang adalah penyusunan karakter baru dan penetapan kenyataan baru. Proses kerja duka cita, melibatkan interaksi antara klien dan lingkungan sekitarnya. Menurut Dyer (2001), proses kerja duka cita dapat disimpulkan sesuai dengan akronim TEAR, yaitu :

T = To accept the reality of the loss
E = Experience the pain of the loss
A = Adjust to the new environment without the lost object
R = Reinvest in the new reality

Hal ini sesuai dengan gagasan Neuman mengenai rekonstitusi dimana tujuannya adalah untuk mengembalikan sistem klien pada kondisi yang stabil. Rekonstitusi dapat dijelaskan sebagai proses kerja duka cita, penyusunan karakter baru, dan penetapan kenyataan baru. Sistem klien berupaya untuk mengembalikan keadaannya pada kondisi yang stabil, atau mengoptimalkan dirinya untuk mencapai daerah di luar garis pertahanan normal. Dengan kata lain, seseorang akan mencoba untuk mengatasi perasaan dukanya agar lebih baik atau normal (sehat).

KASUS PENERAPAN KONSEP DUKA CITA

Berikut kita berikan contoh pengkajian duka cita pada ibu yang mengalami abortus dengan menggunakan pendekatan Model Sistem Neuman.

Contoh kasus :

Sebuah keluarga yang bahagia sedang menantikan kehadiran anak pertama mereka. Sang ibu telah mengandung dua bulan. Namun, suatu saat ibu mengalami perdarahan dan menurut dokter kehamilan tersebut tidak bisa dipertahankan. Oleh karena itu dilakukan aborsi untuk menyelamatkan jiwa ibunya.

Pada kasus di atas, perasaan duka cita dari kedua pasangan tersebut memiliki karakteristik yang kompleks. Misalnya, sang ibu berduka karena calon bayinya tidak bisa dipertahankan (kehilangan inter-personal), atau hilangnya harapan terhadap kehamilan yang telah ditunggu-tunggu (kehilangan intra-personal), atau barangkali merasa bersalah kepada anggota keluarga lainnya karena tidak sesuai harapan mereka (kehilangan extra-personal). Ketika kita akan menentukan tingkat pengaruh kehilangan pada diri seseorang, kita juga harus mengkaji dampak dari perasaan kehilangan tersebut pada kehidupan mereka sehari-hari; cara mereka mengatasi kesedihannya; atau nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut mengenai kehilangan. Secara umum kita akan mengkaji fungsi dari masing-masing garis pertahanan fleksibel, garis pertahanan normal, garis perlawanan, dan struktur dasar. Pengkajian harus meliputi banyak aspek, meliputi : aspek fisiologis, spiritual, psikologis, perkembangan, dan sosial budaya. Sebagai contoh, pertanyaan yang perlu disampaikan adalah : (a) Apakah makna kehilangan bagi orang tua? (aspek spiritual); (b) Bagaimana rencana keluarga selanjutnya? (aspek perkembangan); (c) Bagaimana perasaan duka cita ditunjukkan oleh anggota keluarga? (aspek sosial budaya); (d) Apakah keluarga melakukan perenungan? Apakah mereka mengalami kelemahan memori dan kesadaran?, Apakah mereka kehilangan harga diri? (aspek kejiwaan); dan (e) Gejala fisik apakah yang mereka rasakan? (aspek fisiologis).

Untuk membantu kedua pasangan tersebut mencapai rekonstitusi, dukungan inter-personal maupun ekstra-personal merupakan dua hal penting yang perlu dikaji. Siapakah anggota keluarga yang dapat memberikan dukungan positif? Apakah sistem pendukung secara kultural dapat diterima oleh kedua pasangan? (Mann et al, 1999). Setiap orangtua akan memberikan reaksi yang berbeda, tergantung pada struktur dasar yang dimilikinya. Sebuah penelitian telah membuktikan adanya perbedaan respon berdasarkan jender terhadap perasaan kehilangan pada masa perinatal (Adler & Boxley, 1985; Gilbert, 1989), maka respon terhadap pengalaman duka cita bagi masing-masing orang tidak akan sama, termasuk rentang waktu pemulihannya pun berbeda. Perbedaan dalam proses duka cita tentu akan memberikan stres tambahan di antara para orang tua. Selanjutnya, faktor-faktor ekstra-personal berpotensi memberika dampak bagi mereka.

Setelah dilakukan pengkajian secara menyeluruh, selanjutnya tahapan perencanaan, intervensi, dan evaluasi akan menggunakan proses yang sama. Perangkat penilaian akan mengukur hal-hal yang akan berdampak secara khusus pada aspek-aspek fisiologis, psikologis, rohani, sosial budaya, dan perkembangan. Misalnya, aspek sosial budaya akan mempengaruhi jenis intervensi yang bisa diterima oleh keluarga. Kehilangan pada masa perinatal merupakan suatu pengalaman yang sangat pribadi bagi banyak orang. Pemahaman mengenai arti dan pengalaman pribadi akan sangat membantu petugas kesehatan untuk menentukan intervensi yang spesifik dan terbaik. Intervensi terhadap gangguan fisiologis yang dapat menghalangi proses rekonstitusi bisa juga diberikan tergantung kondisi klien, misalnya perubahan pola tidur, nutrisi, dan sebagainya. Selanjutnya, perawat perlu mempertimbangkan aspek perkembangan seseorang dari perasaan berduka. Intervensi yang sesuai untuk ibu muda primigravida tentunya akan sangat berbeda dengan ibu yang telah memiliki anak sebelumnya (Mann et al., 1999).

PENUTUP

Penggunaan model konsep keperawatan untuk menganalisis suatu konsep tertentu dapat memberikan pedoman bagi kita dalam pengembangan perangkat penilaian dan pengukuran yang lebih spesifik, andal (reliable) dan akurat. Sebab fokus utama keperawatan adalah klien, lingkungan, dan kesehatan. Model keperawatan memberikan kerangka pikir holistik dan tak terpisahkan untuk menilai konsep-konsep yang menarik perhatian bagi profesi perawat. Sudut pandang yang holistik seperti itu penting sekali digunakan bila perawat berhadapan dengan variabel yang bersifat multidimensional, misalnya duka cita, nyeri, takut, marah, atau hal-hal lain yang penting dalam asuhan keperawatan.

Dalam praktek pelayanan keperawatan, penggunaan model keperawatan akan membantu perawat dalam mendefinisikan area penilaian dan memberikan pedoman untuk menentukan standar outcome yang sesuai. Ketika perawat melakukan sebuah riset keperawatan, maka model konseptual akan membantu dalam menyusun struktur yang logis dan konsisten dengan asumsi-asumsi yang sdh ada, terutama dalam menyusun berbagai instrumen, metode, dan indikator hasil pengukuran. Sebab banyak dari konsep-konsep keperawatan yang justru menggunakan atau dijelaskan dengan pendekatan disiplin ilmu lain. Seharusnya, kita dapat mendeskripsikan suatu terminologi dengan perspektif ilmu keperawatan. Reformulasi informasi hasil penelitian ke dalam model keperawatan dapat memperkuat tubuh ilmu pengetahuan (body of knowledge) keperawatan sehingga akan lebih mudah mempelajari dan memahami manusia beserta implikasinya.

KEPUSTAKAAN :

  • Adler, J. D., & Boxley, R. L. (1985). The psychological reactions to infertility: Sex roles and coping styles. Sex Roles, 12, 271-279.
  • Bowlby, J. (1980). Attachment and loss. New York: Basic Books.
  • Cowles, K., & Rodgers, B. (1991). The concept of grief: A foundation for nursing research and practice. Research in Nursing & Health, 14, 119-127.
  • Cowles, K., & Rodgers, B. (1993). The concept of grief: An evolutionary perspective. In B. Rodgers & K. Knafl (Eds.), Concept development in nursing (pp. 93-106). Philadelphia:.W.B. Saunders.
  • Cowles, K., & Rodgers, B. (2000). The concept of grief: An evolutionary perspective. In B. Rodgers & K. Knafl (Eds.), Concept development in nursing (2nd ed., pp. 103-117). Philadelphia: W.B. Saunders.
  • Dyer, K. A. (2001) Dealing with Death & Dying in Medical Education and Practice , http://www.journeyofhearts.org/jofh/kirstimd/AMSA/cross_cult.htm [diakses tanggal 3 Desember 2004]
  • Gilbert, K. (1989). Interactive grief and coping in the marital dyad. Death Studies, 13, 605-626.
  • Lewis, C. S. (1994). A grief observed. San Francisco: HarperSanFrancisco.
    Mann, R., Abercrombie, P., DeJoseph, J., Norbeck, J., & Smith, R. (1999). The personal experience of pregnancy for African-American women. Journal of Transcultural Nursing, 10, 297-305.
  • Neuman. B. (1982). The Neuman systems model: Application to nursing education and practice. New York: Appleton-Century-Crofts.
  • Neuman, B. (1989). The Neuman systems model (2nd ed.). Norwalk, CT: Appleton-Lange.
  • Neuman, B. (1995). The Neuman systems model (3rd ed.). Norwalk, CT: Appleton-Lange.
  • Neuman, B., & Fawcett, J. (2002). The Neuman systems model (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
  • Reed, K. S. (1993). Betty Neuman: The Neuman systems model. Newbury Park, CA: Sage.
  • Reed, K. S. (2003). Grief is More Than Tears, Nursing Science Quarterly, 16 (1), 77-81.
  • Rodgers, B. L. (1993). Concept analysis: An evolutionary view. In B. Rodgers & K. Knafl (Eds.), Concept development in nursing: Foundations, techniques, and applications (pp. 73-92). Philadelphia:Saunders.
  • TLC Group. (2004) Beware the 5 Stages of 'Grief', http://www.counselingforloss.com/article8.htm [diakses tanggal 3 Desember 2004
Baca Selengkapnya - Konsep Duka Cita Menurut Model Betty Neuman