TEMPO Interaktif, Pasangan Bradley T. Gardner-Debbie Gardner mendapat kado istimewa di ulang tahun ke-12 Begawan Foundation, yayasan yang mereka dirikan. Bekerja sama dengan Kolner Zoo (Zoologischer Garten Köln) di Cologne, Jerman, 20 ekor (10 pasang) Jalak Bali yang ditangkarkan beberapa kebun binatang di berbagai negara di Eropa diserahkan ke Yayasan Begawan pada Selasa, 9 Agustus lalu.
Setelah dikarantina selama dua pekan di Bali Bird Park, maskot Provinsi Bali itu akan bergabung dengan tiga jalak lainnya yang datang akhir Juli lalu sebagai hasil penangkaran di Jurong Bird Park, Singapura. "Kedatangan mereka menambah keyakinan akan kesuksesan program kami," kata Gardner, yang juga pemilik resor mewah Begawan Giri di Ubud.
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) termasuk spesies burung yang terancam punah dan masuk dalam daftar CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka) pada 1970. Dengan tubuh putih, warna biru cemerlang yang membingkai mata, dan sentuhan hitam di ujung sayap dan bulu ekor, keindahan burung endemik Bali ini sangat mempesona.
Sejak 1999 Gardner berupaya melestarikan jalak Bali yang mulai punah karena kerap diburu dengan membeli burung jenis itu dari Inggris. Enam tahun kemudian proyek yang dikenal sebagai Mynah Rothschild atau Bali Mynah itu telah membesarkan 97 ekor burung. Sebanyak 65 ekor di antaranya dibawa ke Pulau Nusa Penida. Mulai tahun lalu burung-burung hasil penangkaran yang tersisa dibawa ke Green School di Sibang, Ubud.
Suami-istri asal Amerika Serikat itu mau merogoh kocek sendiri dan bersusah payah mengurusi jalak karena kesadaran untuk tak hanya mengambil manfaat dari keelokan Bali, tapi juga memberikan manfaat bagi pulau ini. Kesadaran itu muncul di tengah keduanya mengembangkan resor Begawan Giri Estate & Spa pada awal 1990-an.
"Saya prihatin melihat anak-anak muda kerap memburu burung itu dengan senapan angin. Padahal populasinya di hutan Bali Barat sudah nyaris musnah," kata Bradley.
Masih dari Ubud, ada Janet De Neefe yang memprakarsai Ubud Writers & Readers Festival sebagai festival sastra kelas dunia. Majalah Harpers Bazaar asal Amerika menempatkannya sebagai satu dari enam festival sastra paling bergengsi di dunia.
Janet, kelahiran Melbourne, Australia, Juli 1959, mulanya hanya turis biasa. Ia lalu jatuh cinta pada masakan Bali dan menekuni serta menuliskannya dalam sebuah buku. Pada 1989, perempuan cantik itu menikah dengan pria asal Ubud, Ketut Suardhana. Janet lalu membuka usaha restoran yang terkenal karena juga memberi les masakan Bali.
Ketika pada 2002 bom meledak dan membuat perekonomian Bali, khususnya Ubud, terpuruk, ia tergerak untuk memikirkan sesuatu yang bisa membantu pemulihan situasi sekaligus menjadikan kegiatan itu sebagai ajang untuk menampilkan bakat-bakat lokal. "Sebuah festival sastralah yang saya munculkan karena belum ada sama sekali sebelumnya," ujarnya.
Awalnya festival ini hanya bergema keras di Australia. Namun, dari tahun ke tahun jumlah peserta terus bertambah dan penulis dari berbagai negara, seperti Palestina, Mesir, Malaysia, Singapura, Myanmar, hingga Israel, bersedia hadir. Sejumlah penulis terkemuka Indonesia, seperti Goenawan Mohamad, Sitor Situmorang, dan Soetardji Calzoum Bahri, pun pernah tampil.
Tema setiap tahun sengaja dipilih untuk mempromosikan nilai-nilai lokal tapi dimaknai sebagai jawaban atas masalah global. "Kami berusaha menyampaikan kearifan lokal menjadi milik bersama," ujar Janet.
Raoul Wijffels, 46 tahun, pun semula datang ke Bali sebagai turis. Ia lantas jatuh cinta pada keunikan dan potensi masyarakat di sana. Sebagai dosen musik di Rotterdam University, Belanda, Raoul melihat begitu banyak bakat pemain musik di pulau ini. Mereka gampang ditemukan di kafe-kafe, restoran, atau sekadar bermain di pinggir pantai. "Apalagi di seluruh Indonesia," pikirnya, empat tahun lalu.
Ia pun memutuskan untuk menetap di Pulau Dewata agar bisa membangun sebuah organisasi nirlaba yang kemudian bernama One Dollar for Music (ODFM). Tujuannya, meningkatkan kreativitas generasi muda Indonesia, menguatkan infrastruktur kesenian dan identitas budaya.
Untuk mewujudkan cita-citanya ini Raoul menggandeng Rudolf Dethu, yang baru selesai memanajeri grup musik Superman is Dead. Dethu mengupayakan cara untuk mencari dana, sedangkan Raoul memikirkan konten kegiatan.
Sejumlah kegiatan spektakuler telah dilaksanakan, antara lain proyek ABG Karet Band (kolaborasi musik tradisional dan modern oleh anak muda), Young Acoustic Composers (ajang kompilasi cipta lagu akustik), dan Young Sounds of Bali (ajang bimbingan musik dan kompilasi cipta lagu dengan aransemen yang menggunakan suara lingkungan di Bali). Pada tahun ini Yayasan telah menggelar acara Young Sounds of Indonesia (pelatihan bagi 18 instruktur musik muda serta kompilasi cipta lagu band/grup/sanggar di Lombok).
Dengan berbagai aktivitas itu ODFM telah membimbing 1.200 musisi muda di Bali, 150 murid sekolah di Lombok, dan 24 anak jalanan di Jakarta. Dua atau tiga festival per tahun untuk talenta muda lokal, merilis CD komposer muda, dan membuat film dokumenter.
Ke depan, ODFM bakal memperluas sayap kegiatan ke seluruh wilayah Indonesia dengan membangun beberapa cabang dan Institute Training The Trainers di berbagai tempat di Indonesia. "Agar sebanyak mungkin anak muda bisa mengakses fasilitas dan bimbingan yang berkualitas," ujarnya.
Prof. Dr. Nyoman Darma Putra, pengamat sosial-budaya dan pariwisata dari Universitas Udayana, menilai bule-bule itu telah berbuat dan mencintai negeri ini dengan tulus. Ia merujuk pada K'tut Tantri (warga negara Amerika kelahiran Skotlandia), Walter Spies (Jerman), dan John Coast (Inggris) yang berkiprah mempromosikan Bali dengan cara masing-masing di era sebelum kemerdekaan.
Tapi jangan disalahkan kalau mereka juga mendapat "keuntungan" dari apa yang dilakukan. "Kami tidak bisa berharap orang lain bekerja, berkreasi, melakukan inovasi untuk kami tanpa mereka mendapatkan sesuatu pada saat bersamaan," ujarnya.
Kalau restoran, hotel, dan usaha lain milik Janet de Neefe jadi lebih laris setelah sukses menyelenggarakan Ubud Writers Festival lalu, kata Nyoman, kita tidak boleh secara sederhana mengatakan bahwa tujuan dia membuat festival sastra itu adalah pertama-tama untuk bisnisnya.
"Saya tahu betapa gigih dan letihnya Janet melahirkan Ubud Writers and Readers Festival. Kita harus melihat segala sesuatu secara komprehensif."
Agar kiprah mereka benar-benar bermanfaat, masyarakat Bali dan Indonesia pun harus gigih mengasah diri. "Bali berutang budi kepada orang asing sebanyak utang budi orang asing itu kepada Bali," kata penulis buku A Literary Mirror: Balinese Reflections on Modernity and Identity in the Twentieth Century terbitan Leiden, KITLV Press, 2011, itu.
ROFIQI HASAN
0 comments:
Post a Comment