Keanggunan Batur dan Teduhnya Trunyan  

iklan
Tempointeraktif.com - Gaya Hidup
Tempointeraktif.com - Gaya Hidup
Keanggunan Batur dan Teduhnya Trunyan  
Oct 24th 2011, 11:12

TEMPO Interaktif, Jakarta - Kemolekan Bali bukan cuma Pantai Kuta dan Sanur. Kintamani di Kabupaten Bangli juga menawarkan eksotisme alam, tradisi, dan situs-situs suci yang menyatu dengan budaya Hindu. Berjarak sekitar 65 kilometer di sebelah utara Denpasar, kecamatan dengan 15 desa ini dapat ditempuh dalam dua jam perjalanan darat. Di sana ada Gunung Batur dengan kaldera dan Danau Batur-nya.

Begitu sampai di Kintamani pada pertengahan Oktober lalu, mata saya tak henti-hentinya menatap Gunung Batur. Dari tempat saya berdiri di atas tubir kaldera di ketinggian sekitar 1.267 meter di atas permukaan laut, puncak gunung itu terlihat jelas. Relatif pendek memang tingginya, cuma 1.717 meter di atas permukaan laut. Puncak kawahnya masih mengepulkan asap solfatara, yang menandakan gunung ini masih aktif.

Gunung Batur adalah gunung kedua tertinggi di Bali setelah Gunung Agung (3.142 meter). Masyarakat Bali meyakini, bila Gunung Agung ibarat laki-laki, Gunung Batur adalah perempuannya. Cerita dalam Lontar Susana Bali mengatakan Gunung Batur merupakan puncak dari Gunung Mahameru di Jawa yang dipindahkan oleh Batara Pasopati untuk dijadikan Sthana Betari Danuh (Istana Dewi Danu).

Puas menatap kemolekan puncak gunung itu, pandangan saya tertuju pada lerengnya, yang di beberapa bagian terlihat lebih hitam dibanding sisi lainnya. Rupanya itu adalah sisa lahar akibat muntahan saat gunung tersebut meletus. Sejarah mencatat, Gunung Batur meletus sejak 1804 dan terakhir pada 2000.

Selama rentang waktu itu, Gunung Batur telah meletus sebanyak 26 kali. Letusan terdahsyat terjadi dari 2 Agustus hingga 21 September 1926. Dahsyatnya letusan saat itu membuat aliran lahar panas menimbun Desa Batur dan Pura Ulun Danu Batur. Kini timbunan lahar itu menjadi sumber penambangan pasir yang sangat menggiurkan. Setiap hari puluhan truk bolak-balik mengangkut pasir Gunung Batur, yang terkenal halus.

***

Danau Batur adalah kenikmatan lainnya. Airnya berwarna biru dan tenang. Di sebelah kiri danau, Gunung Batur berdiri dengan anggunnya. Sementara itu, di sisi kanan, Gunung Abang tak kalah memukau. Gulungan awan putih ibarat kapas seolah menempel di atas pucuk gunung itu. Pada sore hari, paduan antara gunung dan danau ini menjadi pemandangan yang sempurna.

Cahaya matahari yang temaram menjadi pemandangan yang tak terlupakan. Aktivitas warga yang bertani kol di tepi danau serta nelayan yang bekerja di keramba-keramba penangkaran ikan gurami melengkapi harmoni alam dengan masyarakatnya.

Sesungguhnya danau seluas 16 kilometer persegi dengan kedalaman maksimal 88 meter ini terbentuk dari kaldera Gunung Batur. Total luas kaldera itu mencapai 13,8 x 10 kilometer persegi. Ahli vulkanologi asal Belanda, Reinout Willem van Bemmelen, menilai kaldera Gunung Batur adalah salah satu yang terbesar dan terindah di dunia. Kaldera ini diperkirakan terbentuk akibat dua letusan besar yang terjadi pada 29.300 dan 20.150 tahun yang lalu.

Sayang, danau ini kalah populer dibandingkan dengan Danau Toba, Sentani, Poso, atau Danau Kerinci. Padahal, masyarakat di daerah itu sudah bertahun-tahun mempunyai agenda festival danau. Untuk mendongkrak citra dan popularitas danau, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik ketika itu membuka Festival Danau Batur 2011. Kegiatan itu berlangsung selama dua hari, pada 10-11 Oktober. Saya dan beberapa rekan wartawan diundang Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata untuk menyaksikan acara tersebut.

Acara antara lain diisi oleh lomba perahu kano, lomba masak yang diikuti koki lokal, dan lomba mengukir buah; lokakarya pariwisata; pameran hasil kerajinan; kuis; serta hiburan dari grup musik legendaris Koes Plus dan penyanyi balada Ebiet G. Ade. Toh, cuma pengunjung lokal yang antusias memadati berbagai atraksi. Sedangkan turis asing bisa dihitung dengan jari. Mungkin kurang promosi!

Sepinya kehadiran wisatawan di Kintamani adalah gambaran sebenarnya yang terjadi bertahun-tahun. Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Bangli mencatat, dari total 2,5 juta wisatawan yang berkunjung ke Bali pada 2010, hanya sekitar 410 ribu wisatawan (16,42 persen) yang singgah di Kintamani.

***

Saya dan rombongan juga menyempatkan diri ke Desa Trunyan, di sisi barat Danau Batur, di bawah tebing-tebing Gunung Abang. Untuk mencapainya, ada angkutan motor boat yang bisa disewa di dermaga Kedisan. Kami membayar Rp 320 ribu untuk delapan orang. Dengan kata lain, setiap orang membayar Rp 40 ribu. Cuma butuh 20 menit motor boat yang membawa kami melaju membelah tenangnya arus air danau menuju Trunyan.

Masyarakat di desa ini adalah masyarakat Bali Aga (penduduk asli Bali). Berbeda dengan kebanyakan masyarakat Bali yang menganggap diri sebagai pendatang dari Majapahit, masyarakat Trunyan mempunyai sejumlah tradisi yang berbeda dalam memperlakukan jasad warganya yang meninggal. Mereka akan meletakkan jasad itu begitu saja di bawah pohon yang disebut Trunyan. Meski diletakkan di tempat terbuka, tidak ada bau mayat yang menusuk.

Ketut Susiman, 56 tahun, tokoh Desa Trunyan, bercerita, tidak adanya bau mayat yang ditimbulkan lantaran keberadaan pohon Trunyan yang menyebarkan bau harum. Pohon tinggi dan rimbun ini diyakini telah berumur 1.100 tahun.

"Dulu bau wanginya menyebar ke seluruh dunia, sampai-sampai warga sini tidak kuat saking wanginya. Supaya mengimbangi bau harum, orang Trunyan ingin agar yang meninggal tidak dikubur," kata Susiman. Upaya itu berhasil.

Kini setiap mayat orang dewasa dan telah menikah serta meninggal dalam keadaan wajar akan diletakkan di bawah pohon Trunyan, yang dianggap sebagai pekuburan suci atau wayah. Tempatnya di bawah bukit Gunung Abang di tepi Danau Batur, yang berjarak 400 meter dari Desa Trunyan.

Sementara itu, untuk warga yang meninggal dalam keadaan tidak wajar, seperti terjatuh, tenggelam, tertabrak, atau cacat, akan dikuburkan sebagaimana biasa di pekuburan terpisah bernama Salapati. Untuk anak-anak atau orang dewasa tapi belum menikah, pekuburannya juga terpisah sekitar 200 meter dari wayah.

Keunikan lain dari wayah adalah jumlahnya yang cuma 11. Jasad yang diletakkan di bawah pohon cuma dilindungi anyaman bambu. Jika ada warga lain yang meninggal, jasad terlama di antara 11 jasad itu akan disingkirkan begitu saja ke pinggir area. Tak aneh jika di tempat itu ditemukan banyak tengkorak manusia.

Seorang turis asal Swiss, menurut Susiman, pernah mencuri tengkorak di sana. Besoknya tengkorak itu dikembalikan ke tempat semula karena semalaman ia tak bisa tidur nyenyak di hotel. "Merasa terganggu dengan adanya tengkorak itu," ujar Susiman.

AMIRULLAH

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.
If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions

0 comments:

Post a Comment