TEMPO Interaktif, Jakarta - Ramadan 2009 tak akan bisa dilupakan Lucy Irawati. Ibu rumah tangga berusia 37 tahun itu menjalani 10 hari pertengahan bulan puasa sambil berumrah di Tanah Suci bersama suaminya. "Rasanya seperti bulan madu kedua," kata ibu lima anak ini.
Sebenarnya kenangan buat Lucy bukan sekadar kesempatan berduaan dengan sang suami. "Tapi, karena umrah saat Ramadan itu, Subhanallah, pengalaman rohaniahnya enggak tertandingi deh," kata perempuan yang sudah beberapa kali menjalani ibadah umrah dan haji itu.
Lucy tak bisa melupakan kenangan bagaimana tiap menjelang berbuka, di pelataran Masjidil Haram di Mekah dan di Masjid Nabawi di Madinah, orang akan menggelar karpet-karpet panjang untuk alas makan bersama para anggota jemaah.
Begitu azan magrib berkumandang, warga Mekah atau Madinah berlomba-lomba untuk memberi makanan berbuka, berupa buah, gahwah alias kopi Arab, atau sekadar air mineral. "Bahkan kalau naik bis umum pun, saat azan magrib, semua kendaraan berhenti. Coba kalau di Jakarta, semua kendaraan kan tetap saja bablas," kata Lucy sambil tertawa.
Semua itu karena janji pahala berlimpah bagi mereka yang membagi makanan berbuka, tanpa mengurangi puasa orang yang diajak berbuka. "Tiap orang rela merepotkan diri mengajak orang 'ayo buka di tempat saya saja'," kata Muharom Ahmad, Direktur Utama Cordova Abila Travel, biro perjalanan haji dan umrah di Jakarta Selatan.
Lucy dan Muharom sepakat, memang tak banyak yang bisa dilakukan pada siang hari saat berumrah ketika Ramadan. Sementara umrah di bulan lain pada siang hari diisi dengan banyak kegiatan berziarah, umrah saat Ramadan kehidupan baru mulai pada malam hari hingga subuh.
"Setelah asar, mereka ngabuburit, juga belanja makanan," kata Lucy, yang bersuami pemilik biro perjalanan haji dan umrah PT Gema Shafa Marwa di daerah Jakarta Timur.
"Kalau saya memang niat awalnya mencari kekhusyukan ibadah. Sebenarnya puasa di Indonesia dengan di Tanah Suci sama saja esensinya," kata Albert Boy Situmorang, 31 tahun, yang berumrah pada Ramadan 2008. Tapi Boy merasa di sana ia bisa lebih khusyuk karena tidak lagi memikirkan pekerjaan.
Selama tujuh hari di Tanah Suci, Boy bisa bertadarus lebih sering ketimbang di Indonesia. Begitu juga frekuensi salat berjemaah pada awal waktu. "Kami berdelapan dalam satu kelompok, berlomba-lomba untuk ibadah. Apalagi ibadah di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram pahalanya dilipatgandakan," ujar pria yang bekerja di firma hukum ini.
Selain mengejar pahala berlipat ganda, yang paling menarik, bagi dia, tentu saja menikmati kehidupan malam di Tanah Suci ketika Ramadan. "Sangat terasa suasana menghidupkan malam dengan banyak beribadah, terutama di sepuluh hari terakhir," kata Muharom, yang tahun ini memberangkatkan 30 orang dalam tujuh keberangkatan spesial. "Jemaah kami bisa memilih kapan mau berangkat."
Ia mencontohkan soal salat tarawih, biasanya dijalankan delapan rakaat dulu, lalu ditutup dengan witir untuk yang ingin menjalankan hanya 11 rakaat. Kemudian dilanjutkan untuk yang ingin 23 rakaat. "Seperti ini yang seharusnya jadi inspirasi buat kita. Di Masjidil Haram saja dua hal yang berbeda bisa dilakukan. Mereka bisa akur dalam satu masjid," kata Murharom.
Yang juga menarik dari menjalankan Ramadan di Mekah adalah kemungkinan untuk lebih banyak menjalankan qiyamul lail atau salat malam yang biasanya dilakukan di atas pukul satu malam. Pada akhir Ramadan itu biasanya dalam satu malam dibacakan tiga juz Al-Quran sekaligus. "Uniknya, walau bacaan panjang-panjang, tidak ada jemaah yang merasa keberatan karena larut dalam keindahan Al-Quran," kata Muharom.
Bahkan, kata Muharom, banyak anggota jemaah yang sampai menangis saat mendengarkan bacaan sang imam. "Padahal bisa dikatakan tak semua orang yang menjadi jemaah memahami bahasa Arab. Tapi kesyahduan bacaan Al-Quran memang bisa demikian," ujarnya.
Tahun ini, suhu yang cukup panas sekitar 49-50 derajat Celsius di Mekah tampaknya tak terlalu jadi ganjalan. "Karena kelembapan rendah, cuma 18 persen dibantu angin yang cukup banyak. Tapi kami menganjurkan jemaah untuk lebih banyak menggunakan baju tertutup, kecuali saat menggunakan baju ihram bagi pria," ucap Muharom.
Hanya, memang tarif berumrah pada Ramadan jauh lebih tinggi, bisa mencapai 200 persen di sepuluh hari terakhir. Bahkan tarif hotel bisa sama dengan saat bulan haji.
Tapi bukan soal harga yang membuat Lucy dulu memilih berumrah pada pertengahan Ramadan. "Soalnya suami saya bilang, enggak enak Lebaran di Mekah, sepi. Lagi pula saya kasihan juga sama anak-anak, masa Lebaran enggak sama orang tuanya," ucap Lucy.
AMIRULLAH | UTAMI WIDOWATI
0 comments:
Post a Comment