Kaum Transgender Kerap Disiksa dan Dilecehkan

iklan
KOMPASfemale
KOMPASfemale
Kaum Transgender Kerap Disiksa dan Dilecehkan
Nov 30th 2011, 03:37

KOMPAS.com - Mungkin belum banyak orang yang mengetahui bahwa tanggal 20 November yang lalu diperingati Hari Transgender Sedunia. Perlu disadari bahwa kaum transgender, atau waria, yang tergolong minoritas saat ini menuntut untuk diakui hak-haknya sebagai warga negara.

Hari Transgender ini sudah diperingati sejak 13 tahun lalu, ketika seorang transgender bernama Rita Hester terbunuh pada 20 November 1998 di Massachusetts, Amerika Serikat. Terbunuhnya Rita Hester merupakan momentum dimana akhirnya komunitas transgender di dunia, termasuk Indonesia, memperingatinya sebagai hari dimana kaum ini mengekspresikan keinginannya untuk mendapat perlindungan hukum dan hak yang sama sebagai warga negara. Pembunuhan ini disinyalir dipicu oleh fakta bahwa kaum transgender dianggap sebagai aib dalam masyarakat.

Tak hanya di Amerika, penyiksaan terhadap para transgender juga dialami di Indonesia. Lebih dari 4 juta kaum waria di Indonesia merasa tersisih, dan dianggap sebagai "sampah masyarakat". Akibatnya, mereka seringkali mendapat perlakuan semena-mena dari masyarakat, bahkan aparat kepolisian.

Hal ini dialami Rika, salah satu waria yang pernah mengalami penyiksaan oleh aparat kepolisian. "Saya pernah ditangkap Satpol PP, dan dibawa ke Polres Jakarta Selatan. Di sana saya disiksa, dipukul, dan dipaksa untuk mengakui kesalahan yang tidak pernah saya lakukan, kemudian baru dilepaskan," tukas Rika, dalam seminar bertema "Jangan Lupakan Masalah, Beri Kami Ruang!" di kantor Kontras, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (29/11/2011) lalu.

Kaum transgender masih merasa dipandang sebelah mata, dilecehkan masyarakat, didiskriminasikan, disiksa, bahkan dibunuh karena mereka dianggap berbeda. "Padahal kami hanya ingin diakui keberadaan dan hak-hak kami sebagai warga negara, sama seperti orang lain," ungkap Yulianus Rettoblaut, Ketua Forum Komunikasi Waria Se-Indonesia (FKWI).

Sampai saat ini, mereka masih merasakan hak-hak sebagai warna negara tidak didapatkan, begitu pula kesempatan dan ruang kerja. Hal ini memaksa mereka untuk turun ke jalan, menjadi pengamen atau pekerja seks untuk menyambung hidup. Yang menjadi masalah, jalanan rupanya juga bukan "rumah" yang nyaman untuk mereka tinggali.

"Ketika kami berusaha untuk hidup dan berkontribusi positif sebagai warga negara yang baik, seringkali dihalangi kelompok yang mengatasnamakan agama. Di sini peran pemerintah tidak ada sama sekali, bahkan ketika kami menghadapi penyiksaan, pemerintah tidak peduli," sesal Yuli.

Keacuhan pemerintah menangani banyaknya kasus penyiksaan terhadap waria ini mengundang keprihatinan dari berbagai pihak seperti Kontras, Arus Pelangi, dan Komnas Perempuan. Dalam siaran persnya, Komnas Perempuan sangat menyayangkan hal ini, karena sebagai negara yang telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU no 7. tahun 1984, Indonesia seharusnya melindungi hak asasi setiap warga negara tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, agama, orientasi, atau preverensi seksualnya. Namun faktanya, sampai saat ini kaum waria masih menjadi kelompok yang rentan mendapat kekerasan dalam memperjuangkan identitasnya tanpa bantuan dari pemerintah.

"Pemerintah juga acuh untuk bertindak tegas pada orang-orang yang sudah menyiksa dan melakukan kekerasan yang melanggar HAM yang kami alami, padahal kami sudah memberikan berbagai bukti terhadap pejabat dan kelompok tertentu. Tapi pemerintah malah ingin melupakan masalah tersebut, dan membatasi ruang gerak kami untuk bisa berbuat sesuatu yang positif," tambah Yuli.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.
If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions

0 comments:

Post a Comment