PENDIDIKAN MENJADI ORANG TUA
Kehamilan mempengaruhi seluruh anggota keluarga. Setiap anggota memerlukan proses adalah adaptasi yang bergantung pada budaya dan lingkungan. Wanita segala umur selama masa kehamilannya beradaptasi berperan sebagai ibu. Pada kehamilan awal tidak ada yang berbeda. Ketika futusnya mulai bergerak pada trimester ke-2, wanita tersebut mulai menaruh perhatian pada kehamilannya dan menjalin percakapan dengan ibunya atau teman-taman yang lain yang pernah hamil.
Kehamilan suatu krisis yang mematangkan dan dapat menimbulkan stress, tetapi imbalannya adalah wanita tersebut siap menghadapi fase baru untuk tanggung jawab dan perawatan (Olsen, 1999). Konsep darinya berubah, siap menjadi orang tua, dan menyiapkan peran barunya. Secara bertahap ia berubah dari memperhatikan dirinya sendiri dan punya kebebasan menjadi komitmen untuk Bertanggung jawab kepada makhluk lainnya.
Perkembangan ini membutuhkan tugas perkembangan yang pasti dan tuntas yang meliputi penerima kehamilan, mengidentifikasi peran sebagai ibu, membangun kembali hubungan dengan ibunya, dengan suaminya, dengan bayi yang dikandungnya, serta menyiapkan kelahiran anaknya (Wayland dan Tate, 1993, Zachariah, 1994). Dukungan suami secara emosional adalah faktor yang penting untuk keberhasilan tugas perkembangan ibu.
1. Identifikasi peran ibu
Peran ibu dimulai pada kehidupan seorang perempuan menjadi seorang ibu dari anaknya. Persepsi lingkungan sosialnya tentang aturan-aturan peran wanita dapat mempengaruhi pilihannya antara menjadi ibu atau perempuan karir, menikah atau tetap membujang, atau menjadi bebas dari pada tergantung orang. Bermain peran dengan boneka, mengasuh bayi dan mengasuh saudara dapat meningkatkan pengertian seperti apa peran ibu. Perempuan yang menyukai bayi atau anak-anak mempunyai motivasi untuk menerima kehamilan dan menjadi ibu.
2. Hubungan interpersonal Ibu
Kedekatan hubungan membuat ibu hamil lebih siap untuk berperan sebagai ibu. Pada saat anggota keluarga menyadari peran baru mereka bisa terjadi konflik dan ketegangan. Diperlukan komunikasi yang efektif antara ibu dengan suami dan keluarganya. Komponen-komponen yang penting seputar ibu hamil adalah: ibunya sendiri, reaksinya terhadap kehamilan anaknya, menghargai kemandirian anaknya, keberadaannya di masa lampau dan sekarang, dan keinginan untuk mengenangnya (Mercer, 1995)
3. Hubungan ibu dengan janin
Hubungan ibu dengan anak dimulai selama hamil, ketika ibu mengkhayal dan memimpikan dirinya sebagai ibu (Rubin,1975). Ibu ingin mendekat, menghangatkan, atau bercerita kepada bayinya, dan mencoba membayangkan adanya tangisan bayi, memeriksakan adanya gangguan terhadap kurangnya kebebasan dan kegiatan mengasuh anak. Hubungan ibu dan anak berkembang dalam 3 fase selama hamil:
Fase I (Lumley, 1982). Ia menerima kenyataan biologis tentang kehamilan dengan pernyataan “saya hamil” dan menyatakan ide tentang anak didalam tubuhnya dan gambaran dirinya sebagai berikut:
a. Pikiran terpusat pada dirinya
b. Menyadari kenyataan dirinya hamil
c. Fetus adalah bagian dari dirinya
d. Fetus seolah-olah tidak nyata
Fase II pada saat ini ibu merasakan sebagai berikut :
a. Menerima tubuhnya fetus yang merupakan makhluk yang berbeda dengan dirinya (pada bulan ke-5)
b. Timbulnya pernyataan :”Saya akan mempunyai seorang bayi”
c. Tumbuhnya kesadaran bahwa bayinya adalah makhluk lain yang terpisah dari tubuhnya.
d. Terlibat dalam hubungan Ibu-Anak, asuhan dan tanggung jawab
e. Mengembangkan pelekatan (attachment). Perempuan yang menyukai kehamilan dan merencanakannya akan senang dengan kehamilannya, mereka dekat dengan bayinya yang dirasakan lebih awal dari pada perempuan lain (Koniak Griffin, 1988)
f. Menerima kenyataan, mendengar denyut jantung janin dan merasakan gerakan anak menempatkan perempuan tersebut pada kondisi yang tenang, sehingga dapat lebih berintrospeksi diri dan berfantasi tentang anaknya. Ia akan senang dengan anak kecil.
Fase III ini adalah proses attachment dan ibu merasakan sebagai berikut:
a. Merasa realistik
b. Mempersiapkan kelahiran
c. Mempersiapkan menjadi orang tua
d. Spekulasi mengenai jenis kelamin anak
e. Keluarga berinteraksi dengan menempelkan telinganya ke perut ibu dan berbicara dengan fetus.
Reaksi Wanita Terhadap Bayinya dan kegiatan menyusui
Reaksi wanita terhadap kelahiran bayinya dan terhadap pengurangan hak-hak ego itu sangat bervariasi. Yang terutama sekali ialah: reaksi mekanisme pembelaan diri yang otomatis menentang bertambahnya macam-macam tugas baru guna merawat dan mengasuh bayinya.
Tugas-tugas baru tadi dinyatakan sebagai suatu “Bahaya bisa menghambat dan memiskinkan ego sendiri”. Lalu timbul reaksi : merasa sangat dirugikan, karena semua tingkah laku ibu muda tersebut menjadi sangat terbatas dan terhambat oleh kehadiran bayinya. Perasaan semacam itu terutama sekali banyak kita jumpai pada ibu-ibu yang sangat muda yang belum siap secara mental untuk menjadi ibu, dan ibu-ibu yang memiliki sifat maskulinitas sangat kuat.
Banyak ibu muda yang merasa takut kalau-kalau kelangsingan tubuh dan kemolekan badannya menjadi lenyap, terutama payudaranya akan menjadi rusak, kempis dan longgar, karena harus menyusui bayinya. Ditambah timbulnya macam-macam konflik antara aspirasi-aspirasi intelektual untuk aktif bergiat di luar, melawan tugas-tugas keibuan di rumah.
Bentuk reaksi negatif lain yang bisa membahayakan kepribadian wanita berupa : beraneka mekanisme pelarian diri dan mekanisme pembelian diri yang semula berhasil dipertahankan, kini menjadi goyah, disebabkan oleh kelahiran bayinya, dan munculnya tugas-tugas keibuannya, dan mereaksi terhadap “bahaya-bahaya” (yaitu tugas keibuan) dengan rasa ketakutan serta kecemasan, lalu berusaha menghindarkan diri dari semua tugas merawat dan mengasuh bayinya. Juga terdapat wanita-wanita yang merasa tidak mampu mencintai anaknya, padahal umur cinta kasih mutlak perlu bagi kesejahteraan dan kelestarian bayinya. Semua perasaan negatif atau perasaan dirugikan itu pada umumnya adalah kelanjutan dari perasaan-perasaan yang dikembangkan sejak periode kehamilan. Apalagi ada hal-hal tersebut di atas, bentuk khas dari sifat keibuan itu sangat bergantung pada keseimbangan antara macam-macam konflik yang saling bertentangan tadi. Ketakutan yang berlebih-lebihan pada berkurangnya hak-hak ego sendiri berakibat munculnya:
a. Usaha untuk melarikan diri dari bayinya
b. Tidak mau bertanggung jawab terhadap perawatan dan nasib anaknya.
c. Berbareng dengan peristiwa tadi, terjadi pula kegagalan pada fungsi-fungsi jasmaniah dari reproduksi, terutama fungsi kelenjar-kelenjar susu menjadi terhalang dan macet, sehingga air susu tidak mau keluar.
d. Sebagai akibat jauhnya, wanita tadi tidak mau menghayati fungsi keibuan sejati.
Sebaliknya, jika terdapat ketakutan yang ekstrem terhadap nasib bayinya atau muncul rasa takut kehilangan bayinya, maka hal ini akan mengakibatkan :
a. Devosi atau pengorbanan diri yang berlebih-lebihan
b. Juga minat sosial lainnya tidak di perhatikan
c. Bahkan mungkin bisa muncul disposisi kecemasan-kecemasan yang neurotis terhadap anaknya
Ada kalanya kita jumpai proses penguatan cinta-dini yang narsistis pada seorang wanita, sebagai suatu reaksi - kompensasi dari kecenderungan - kecenderungan mesokhistis ekstrem sesudah kelahiran bayinya. Penguatan unsur narsisme sekunder semacam ini khususnya terjadi pada wanita yang kehidupan emosionalnya kaku-beku dingin, sehingga ia tidak mampu menghayati kebahagiaan mengandung bayinya, dan tidak bisa mencintai anaknya. Peristiwa tadi merupakan bentuk :
a. Kekacauan emosional disertai perasaan-perasaan kosong hampa
b. Dan pemiskinan sifat kewanitaannya yaitu merupakan bentuk gangguan afektif yang schizoid sifatnya.
Wanita-wanita tadi mengharapkan, bahkan sering menuntut, agar bayi/anaknya mencintai dirinya, tetapi dia sendiri tidak sanggup mencintai anaknya. Atau agar bayinya bisa membebaskan ibunya dari derita batin penuh kekosongan dan kehambaran hati. Namun dengan sendirinya ibu tadi merasa kecewa, karena harapannya tidak pernah terpenuhi, sebab sumber penyebabnya ialah: ibu itu sendiri tidak mampu mengembangkan perasaan afeksi yang hangat terhadap anak/bayinya.
Ada pula wanita-wanita yang ingin hamil dan melahirkan anaknya karena didorong oleh rasa kesepian atau oleh perasaan kepedihan ditinggalkan kekasih atau suami.
Untuk mengurangi kecenderungan-kecenderungan negatif tadi, perlu kiranya wanita yang bersangkutan dialihkan kepada interest-interest atau macam-macam kegiatan rekreatif sebagai terapi penyembuhannya.
Tipe wanita yang dihinggapi perasaan-perasaan bersalah dan dosa-dosa misalnya: yang cenderung memberikan reaksi-reaksi depresif dan reaksi neurotis-obsesif. Pada umumnya membiarkan anaknya sejak awal kehadirannya mentiranisir dirinya dengan macam-macam tuntutan dan kemanjaan. Di kemudian hari, jika perbuatan dan kenakalan anaknya sudah keterlaluan disebabkan oleh salah asuh dan salah didik dari sang ibu maka secara mati-matian ibu tadi membebaskan diri dari tiranisasi anaknya. Biasanya ia menjadi putus asa atau justru menjadi sangat maskulin dan agressif sekali, lalu bersikap kasar dan kejam terhadap anaknya.
Pada beberapa wanita lainnya, secara paradoksal kelahiran anaknya justru menambah kreatifitasnya diluar lingkungan keluarga. Adapun motivasi-motivasi penunjang yang memperbesar dorongan kreatifitas mereka adalah : kekecewaan menjadi seorang ibu, ingin melarikan diri dari tugas-tugas keibuan.
Ibu-ibu yang bersifat sangat maskulin ini mirip dengan gadis-gadis cilik yang mencoba memuaskan dorongan aktifnya dengan bermain-main dengan bonekanya. Lalu dengan ciri-ciri maskulinitas tadi ia mencoba-coba memelihara serta mengurus bayinya, dan di kemudian hari mendidik anaknya, maka dengan semakin menonjol kuat kecenderungan-kecenderungan maskulinnya atau tendens kelaki-lakiannya, akan semakin kuat pula usahanya untuk melarikan diri dari tugas-tugasnya sebagai seorang ibu.
Sebaliknya juga, semakin pasif dia dan semakin banyak ia dihinggapi dorongan-dorongan masokhistis, akan semakin bergantunglah ia pada pribadi anaknya. Ada kecemasan berbentuk dependensi pada diri anaknya dan semakin kuatlah usahanya untuk melarikan diri dari macam-macam aktivitas yang maskulin.
Hal ini menjelaskan, bahwa khususnya pada wanita yang sangat pasif, bisa terjadi pernguatan dan penonjolan kecenderungan-kecenderungan maskulin sesudah kelahiran bayinya.
Macam-macam gejala yang telah kita bahas pada periode kehamilan itu bisa berlangsung terus pada masa menyusui dan periode post partum. Misalnya saja, kesenangan menjadi hamil terus menerus, berupa obsesi jadi hamil tanpa disertai emosi-emosi afeksi terhadap anak sendiri itu banyak kita jumpai pada wanita-wanita infantil (kekanak-kanakan, dewasa secara jasmaniah, namun memiliki ciri kekanak-kanakan secara jiwani) . pola tersebut akan dilanjutkan dalam bentuk relasi infantil dengan anaknya. Ibu-ibu macam ini biasanya tidak mampu mengembangkan sikap yang dewasa, tidak bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan realitas yang ada, dan tidak bisa meninggalkan pola relasi-relasi dengan anaknya yang sifatnya sangat kekanak-kanakan lalu ia memainkan peranan keibuannya bagaikan gadis pra puber yang asik menimang-nimang bonekanya.
Sebernarnya, bahwa wanita semacam ini belum siap siaga untuk menjadi seorang ibu. Ketika ia melahirkan bayinya secara spontan ia diliputi rasa senang dan suka memamerkan pada teman-temannya. Ketika ia melahirkan anaknya. Semua ini berlangsung selama beberapa minggu saja. Akan tetapi ketika tiba saat yang lebih serius, dimana sang bayi menuntut pengorbanan dari ibunya berupa tuntutan pemeliharaan dan asuhan, maka mulailah timbul kesulitan dan konflik-konflik batin pada dirinya.
ADAPTASI ORANG TUA DALAM PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK
Ketika seorang ibu melahirkan anak, suatu hal yang ingin diketahui ialah: seperti apakah atau seperti siapakah anak saya? Ini suatu keingin tahuan yang biasa, wajar. Namun sebenarnya ada satu hal yang lebih penting lagi ialah, akan seperti apakah kelak anak saya ini? Suatu pertanyaan dengan rentangan panjang, memakan waktu lama untuk bisa menjawabnya dan sulit untuk bisa diramalkan antara apa yang ada dan apa yang akan terjadi, antara yang terlihat dan apa yang akan diperlihatkan.
Anak yang baru lahir berada dalam keadaan lemah, tidak berdaya, tidak bisa apa-apa, tidak bisa mengurus diri sendiri, tidak bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Jadi ia tergantung sepenuhnya pada lingkungannya, lingkungan hidupnya, terutama orang tua dan lebih khusus lagi ialah ibunya. Mengenai lingkungan hidup yang menjadi tokoh pusat ialah orang tua. Merekalah yang berperan besar, langsung atau kadang-kadang tidak langsung, berhubungan terus-menerus dengan anak, memberikan perangsang (stimulasi) melalui berbagai corak komunikasi antara orang tua (terutama ibu) dengan anak.
Berdasarkan pada hal-hal tersebut diatas, orang tua jelas berperan besar dalam perkembangan dan memperkembangkan kepribadian anak. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seprang setelah dewasa, jadi gambaran kepribadian yang terlihat dan diperlihatkan seseorang setelah dewasa,. banyak banyak ditentukan oleh keadaan dan proses-proses yang ada dan terjadi sebelumnya.
Dalam usaha atau tindakan aktif orang tua untuk mengembangakan kepribadian anak, perlu memperhatikan aspek-aspek perkembangan sebagai berikut :
1. Dalam kaitan dengan pertumbuhan fisik anak
Perlakuan dan pengasuhan yang baik disertai dengan lingkungan yang memungkinkan anak hidup sehat, jauh dari keadaan yang mempermudah timbulnya sakit dan penyakit perlu sekali di perhatikan. Pengetahuan praktis mengenai kadar gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatan anak perlu diketahui orang tua. Juga diperlukan pengetahuan- pengetahuan praktis mengenai kebutuhan- kebutuhan anak, kebutuhan dasar dan mineral, untuk memungkinkan anak berkembang sebaik-baiknya.
2. Dalam kaitannya dengan perkembangan sosial anak
Pergaulan adalah juga merupakan suatu kebutuhan untuk memperkembangkan aspek sosial anak. Seorang anak membutuhkan anak lain atau kelompok yang kira-kira sebaya. Melalui hubungan dengan lingkungan sosialnya, anak sengaja atau tidak sengaja, langsung atau tidak langsung terpengaruh pribadinya. Peniruan menjadi salah satu faktor yang sering terjadi dalam proses pembentukan pribadi anak. Maka penting diperhatikan siapa atau dengan kelompok mana anak boleh, dianjurkan atau sebaliknya menghindari atau sesedikit mungkin bergaul.
3. Dalam kaitannya dengan perkembangan mental anak
Komunikasi verbal antara orang tua dengan anak, khususnya pada tahun-tahun pertama kehidupan anak, besar pengaruhnya untuk perkembangan mentalnya. Anak memahami arti sesuatu mulai dari yang kongkrit sampai yang abstrak, Kecuali dari usaha anak sendiri, yang bereksplorsi didalam lingkungannya, mendengar, mengamati dan mengolah menjadi pengetahuan-pengetahuan, juga berasal dari perangsangan- perangsangan yang diberikan oleh orang-orang yang ada di sekeliling hidup anak. Mengajak anak berbicara sambil membimbing lebih lanjut mempunyai dampak positif bagi perkembangan aspek mentalnya.
4. Dalam kaitannya dengan perkembangan rohani anak
Pengetahuan anak mengenai perbuatan baik atau tidak batik, boleh atau tidak boleh dilakukan, diperoleh dari usaha anak sendiri yang secara aktif memperhatikan, meniru dan mengolah dalam alam pikirannya dan lebih lanjut menjadi sikap dan perilakunya. Namun dalam banyak hal peranan dari orang tua juga cukup besar dalam mempengaruhi perkembangan aspek moral dan rohani anak.
Orang tua sedikit demi sedikit membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku anak sesuai dengan patokan atau ukuran orang tua, sesuai dengan kitab suci dan ajaran- ajaran agama.
0 comments:
Post a Comment