Kondisi Psikologi Ibu Hamil

iklan
Kehamilan pertama yang dialami oleh setiap wanita pasti akan menimbulkan banyak efektifitas baik fisik maupun psikologis. Bagi setiap wanita kehamilan yang dialaminya merupakan suatu kebahagiaan tersendiri yang mana dengan kehamilan tersebut secara psikologis memberikan kepercayaan diri yang kuat bahwa ia adalah memang benar-benar telah menjadi wanita sejati. Secara sosial pun ia akan merasa lebih percaya diri dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi di sisi lain kehamilan apalagi kehamilan pertama membawa efektifitas yang tidak bisa begitu saja disepelekan. Secara fisik ibu hamil akan merasa letih, lesu payah dan sebagainya. Sedang secara psikologis ibu hamil akan dibayangi dan dihantui rasa cemas dan takut akan hal-hal yang mungkin akan terjadi baik pada dirinya sendiri maupun pada bayinya.
Dra. Risa Kolopaking, Msi., seorang psikolog pada RSIA Hermina Bekasi menjelaskan bahwa : “Selama hamil, sangat normal apabila calon ibu mengalami mood swing, emosi dan suasana hati yang naik-turun secara fluktuatif. Sebagian besar ibu hamil mengalaminya, hanya saja ada yang ringan, dan ada yang ekstrim. Penyebab secara internal, perubahan tubuh dan hormonal ibu hamil. Di samping itu tentu ada faktor psikologis yang juga bisa mencetus.
Meskipun mood swing adalah hal umum bagi sebagian besar ibu hamil, namun 1 dari 10 ibu hamil yang mengalaminya, dapat mengalami fluktuasi ekstrim dan mengalami masalah yang signifikan.
Berikut beberapa tanda yang perlu dicermati:
Kehamilan tak diinginkan
Kehamilan berisiko
Jarak kehamilan yang terlalu dekat
Riwayat keguguran

Kehamilan normal tapi punya pengalaman anak pertama sakit berat atau pengalaman mengasuh anak pertama sulit

Benarkah semakin calon ibu banyak tahu dan kritis dengan berbagai perkembangan, prevalensi terjadinya pre-baby blues makin besar? “Memang belum ada

Beberapa Kiat untuk Menyeimbangkan Kondisi Psikologis Ibu Hamil
Ibu yang sedang hamil, pasti akan mengalami berbagai macam perubahan bukan hanya perubahan secara fisik namun juga secara psikologis. Jangan heran jika ibu yang hamil tiba-tiba menangis atau marah. Ini terjadi karena adanya perubahan hormonal yang lazim dialami oleh ibu-ibu yang sedang hamil. Untuk itu ibu-ibu yang kini sedang mengandung buah hati, harus selalu menjaga kondisi psikologisnya agar tetap baik dan seimbang. Jika kondisi psikologis sang ibu baik pastinya sang ibu akan lebih tenang atau rileks saat menjalani masa-masa kehamilannya. Berikut beberapa kiat yang dapat menyeimbangkan kondisi psikologis saat ibu sedang mengandung:


1. Informasi Carilah informasi seputar kehamilan terutama mengenai perubahan yang terjadi dalam diri ibu termasuk hal-hal yang perlu dihindari saat sedang mengandung agar janin tumbuh sehat. Pengetahuan atau informasi yang tepat akan membuat ibu merasa lebih yakin sekaligus bisa mengurangi rasa cemas yang sering muncul karena ketidaktahuan mengenai perubahan yang terjadi.

Komunikasi dengan suami
Bicarakanlah perubahan yang terjadi pada diri Anda selama hamil dengan sang suami, sehingga ia juga tahu dan dapat memaklumi perubahan yang terjadi pada diri Anda. Tidak jarang jika Anda mengkomunikasikan hal ini, sang suami akan memberikan dukungan psikologis yang dibutuhkan.

2. Rajin chek up

Periksakan kehamilan secara teratur. Cari informasi dari dokter atau bidan terpercaya mengenai kehamilan yang sekarang Anda jalani. Jangan lupa, ajaklah suami saat berkonsultasi ke dokter atau bidan.

3. Makan Sehat
Pahami benar pengetahuan mengenai asupan makanan yang sehat bagi perkembangan janin. Hindarilah mengonsumsi bahan yang dapat membahayakan janin, seperti makanan yang mengandung zat-zat aditif, alkohol, rokok, atau obat-obatan yang tidak dianjurkan bagi ibu hamil. Jauhkan juga zat berbahaya seperti gas buang kendaraan yang mengandung timah hitam yang berbahaya bagi perkembangan kecerdasan otak janin.

4. Jaga Penampilan
Perhatikanlah penampilan fisik dengan menjaga kebersihan dan berpakaian yang sesuai dengan kondisi badan Anda yang sedang berbadan dua. Jangan lupa untuk melakukan latihan fisik ringan, seperti berenang atau jalan kaki ringan untuk memperlancar persalinan.

5. Kurangi Kegiatan
Lakukanlah penyesuaian kegiatan dengan kondisi fisik saat hamil. Memasuki masa persalinan, Anda dan suami harus sudah siap dengan berbagai perubahan yang akan terjadi setelah kelahiran sang bayi.

6. Dengarkan Musik
Upayakan berbagai cara agar terhindar dari stres. Atasilah kecemasan maupun emosi negatif lainnya dengan mendengarkan musik lembut, belajar memusatkan perhatian, berzikir, yoga atau relaksasi lainnya.

7. Senam Hamil
Bergabunglah dengan kelompok senam hamil sejak usia kandungan menginjak usia 5-6 bulan. Jangan lupa untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter kandungan. Senam hamil tidak hanya bermanfaat melatih otot-otot yang diperlukan dalam proses persalinan, melainkan juga memberi manfaat psikologis. Pertemuan sesama calon ibu biasanya diisi dengan acara berbagi pengalaman yang dapat dijadikan pelajaran positif. Melalui kegiatan itu pula secara perlahan kesiapan psikologis calon ibu dalam menghadapi persalinan menjadi semakin mantap.

8. Latihan Pernafasan
Lakukanlah latihan relaksasi dan latihan pernapasan secara teratur. Latihan ini bermanfaat untuk ketenangan dan kenyamanan sehingga kondisi psikologis bisa lebih stabil.

Trauma Kehamilan dan Pengaruhnya pada Janin
Mengingat dampaknya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan janin, sebisa mungkin hindari trauma. Beban fisik dan mental biasa dialami oleh ibu hamil karena perubahan fisik dan hormonalnya, seperti bentuk tubuh yang melebar dan kondisi emosi yang naik turun. Beban ini sering diperparah dengan munculnya trauma-trauma kehamilan, sehingga masalah yang dihadapi ibu pun makin kompleks.
Trauma masa hamil, bisa datang dari banyak faktor. Hal sepele seperti menyaksikan film horor bisa saja mendatangkan trauma padahal sebelumnya tidak masalah bila ibu menyaksikan film jenis apa pun: horor, laga, atau thriller. Namun di saat hamil, adegan yang menyeramkan, mengerikan, atau menyedihkan bisa sangat membekas dan berujung menjadi trauma. Ibu jadi takut pergi ke kamar mandi sendirian, takut menyetir mobil, khawatir bakal terjadi sesuatu yang mengancam jiwanya, cemas kalau sendirian di malam hari, dan sebagainya. Ketakutan ini menjadi sangat berlebihan, sehingga sangat mengganggu kondisi psikologisnya.
Menurut Dra. Shinto B. Adelaar MSc. dari RS Internasional Bintaro, Tangerang, Banten, bila beban trauma ini terus berlanjut, dampaknya akan berbekas pada janin. Terlebih jika ibu sampai mengalami stres. “Untuk itu, ibu hamil tidak boleh memperhatikan kesehatan fisik saja, melainkan juga kesehatan psikologisnya. Salah satunya dengan menghindari trauma masa hamil yang dapat berujung pada stres, yakni timbunan permasalahan yang tidak bisa diatasi dengan baik.”
Tidak semua ibu menyadari bahwa aspek fisik dan psikis adalah dua hal yang terkait erat, saling pengaruh-mempengaruhi, atau hampir tidak terpisahkan. Jika kondisi fisiknya kurang baik, maka proses berpikir, suasana hati, kendali emosi dan tindakan yang bersangkutan dalam kehidupan sehari-hari akan terkena imbas negatifnya. Antara lain, suasana hati atau keadaan emosi cepat berubah, kepekaan meningkat, dan perubahan pola atau pilihan makanan yang juga akan berpengaruh pada konsep diri sang ibu.
Kondisi psikologis yang dialami ibu selama hamil, kemudian akan kembali mempengaruhi aktivitas fisiologis dalam dirinya. Suasana hati yang kelam dan emosi yang meledak-ledak dapat mempengaruhi detak jantung, tekanan darah, produksi adrenalin, aktivitas kelenjar keringat, sekresi asam lambung, dan lain-lain. Trauma, stres, atau tekanan psikologis juga dapat memunculkan gejala fisik seperti letih, lesu, mudah marah, gelisah, pening, mual atau merasa malas.
Karena perubahan yang terjadi pada fisik mempengaruhi aspek psikologis dan sebaliknya, maka mudah bagi ibu hamil untuk mengalami trauma. Menurut Shinto, trauma ini ternyata dapat dirasakan juga oleh janin. Bahkan, janin sudah menunjukkan reaksi terhadap stimulasi yang berasal dari luar tubuh ibunya. Sementara dalam masa perkembangan janin, ada masa-masa yang dianggap kritis yang menyangkut pembentukan organ tubuh. Oleh karena itu, mau tidak mau ibu hamil harus menjaga kondisi fisik maupun psikisnya agar bayinya dapat tumbuh sehat.
Biasanya, masa paling berat bagi beban psikis ibu hamil terjadi di trimester pertama, yakni ketika perubahan aktivitas hormonal ibu sedang besar-besarnya. Perubahan inilah yang dapat dengan mudah mempengaruhi stabilitas emosi ibu, selain menyebabkan keluhan mual-muntah, terutama di pagi hari (morning sickness) selama dua bulan pertama. Akibatnya, beban psikologis pun semakin bertambah. Makanya, wajar bila di usia kehamilan ini banyak ibu rentan terhadap trauma.
Bukan cuma itu. Ibu hamil pun sering mengalami kecemasan berkaitan dengan penampilan fisiknya. Bagi istri yang hubungannya dengan suami relatif rapuh atau memiliki konsep diri rendah, kehamilan kerap dipersepsikan sebagai keadaan yang mengancam. Cukup banyak ibu yang merasa khawatir bahwa kehamilan akan menurunkan daya tariknya dan membuat pasangan melirik pada perempuan lain. Hal inilah yang terkadang menambah beban trauma.
Apalagi semakin tua usia kehamilan, bentuk tubuh perempuan semakin jauh dari patokan ideal. Bagi yang mendewakan keremajaan, kehamilan mereka dapat menjadi sumber kecemasan terhadap berbagai perubahan atau “kerusakan” bagian tubuh sejalan dengan perkembangan kehamilan. Berbagai upaya pun dilakukan untuk memperkecil risiko agar tubuh dapat segera kembali ke kondisi sebelum hamil. “Hal ini menjadikan kehamilan tidak selamanya disambut dengan rasa bahagia, cukup banyak juga yang kurang percaya diri, sehingga dengan berbagai alasan dan cara berusaha menyembunyikannya,” sesal Shinto.
Pengaruh trauma terhadap perkembangan janin, menurutnya, sangat terasa jika kejadiannya berlangsung di trimester pertama. Pada masa ini pertumbuhan awal baru dimulai, sehingga janin sangat rentan terhadap pengaruh dari luar, didukung susunan syaraf pusat dan jantung yang sudah bertumbuh. Dari luar, pada janin juga sudah tampak mata, hidung, mulut yang mini, dan tunas bakal tangan serta kaki. Kemudian, di akhir trimester pertama, janin mulai bergerak, bernapas dan mencerna makanan. Itulah mengapa fase ini rentan terhadap gangguan, apalagi yang bersifat traumatis.
Sebenarnya, beban trauma terhadap janin bisa ditepis jika ibu cepat menenangkan diri. Justru yang lebih dikhawatirkan adalah bila trauma tersebut membuat ibu tidak memperhatikan kehamilannya, jatuh sakit, minum obat-obatan sembarangan, apalagi mengonsumsi zat berbahaya yang akan berdampak fatal pada janin.
Apabila ibu sudah sampai mengonsumsi zat berbahaya, terkadang kehamilan tidak bisa dipertahankan. Bilapun dipertahankan, janin akan terpapar pada risiko tinggi berupa kelainan pada susunan saraf pusat, jantung, panca indra dan anggota tubuh.
Menurut Shinto, janin yang dikandung oleh para ibu yang mengalami stres berat dan tidak memperhatikan kehamilannya banyak yang mengalami kelainan perkembangan

pada kedua belahan otaknya. Misalnya, otak kiri tidak dapat memproses informasi lebih cepat daripada belahan otak bagian kanan, sehingga mengakibatkan hambatan dalam perkembangan kemampuan berbahasa anak di kemudian hari. Penelitian lain menunjukkan, ibu hamil yang mengalami trauma dan stres berkepanjangan karena masalah rumah tangga cenderung melahirkan anak hiperaktif. “Dampak yang terjadi pada anak-anak memang tidak mudah diramalkan sebelumnya. Oleh karena itu, cara yang terbaik adalah melakukan pemeliharaan diri secara fisik dan psikologis selama masa kehamilan,” tandas Shinto.
Usai trimester pertama, biasanya beban kehamilan sudah bisa diantisipasi lebih baik. Selain perubahan hormonal lebih stabil, ibu pun sudah mulai terbiasa dengan kondisi tubuhnya. Sementara, janin pun sudah lebih kuat dari sebelumnya. Namun demikian, ibu tetap perlu berhati-hati mengingat di akhir trimester kedua janin mulai mampu mendengar dan dapat bereaksi terhadap sentuhan dari luar. Dia pun sudah bisa merasakan kondisi psikologis orang tuanya. Kondisi ibu yang selalu menyenangkan bisa membuat pertumbuhan janin optimal. Sedangkan bila tidak, mungkin saja ada gangguan-gangguan yang nantinya bisa berpengaruh pada kondisi psikologis anak setelah lahir.
Direncanakan atau tidak, calon ibu perlu mempersiapkan diri secara psikologis sejak sebelum, selama, dan sesudah kehamilan. Calon ayah dan ibu perlu bersiap-siap menyesuaikan diri terhadap perubahan peran, tanggung jawab, pembagian waktu, maupun perhatian yang berkaitan dengan kehadiran sang bayi 9 bulan mendatang.
“Di awal masa kehamilan, baik calon ibu maupun ayah, harus memiliki pengetahuan mengenai perubahan yang terjadi di dalam diri ibu, hingga lebih percaya diri dan tidak mudah mengalami kecemasan menghadapi gejala-gejala umum kehamilan,” tutur Shinto.
Calon ayah perlu tahu bahwa ada kemungkinan sang isteri akan menunjukkan tingkah laku yang “luar biasa” selama masa kehamilan. Dengan demikian calon ayah pun harus belajar memahami dan meningkatkan toleransi terhadap “ketidaklaziman” tingkah laku istrinya. Dengan kata lain, calon ayah juga mesti bersedia menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada sang istri, baik fisik maupun psikologis.

Menurut penelitian di Amerika, 10% dari ibu hamil yang depresi akan menularkan secara biokimia kesedihannya pada janinnya, yang akan meningkatkan hormon stress dan aktivitas otak sang janin. Untuk menghindarinya, ibu hamil harus mempersiapkan diri dalam hal berikut:

Kesiapan menghadapi perubahan bentuk fisik
Ibu hamil pastinya akan mengalami perubahan luar biasa terhadap bentuk tubuhnya. Ia akan merasa tidak menarik dan tidak nyaman dengan bentuk tubuhnya yang baru. Ini akan mempengaruhi suasana hati ibu hamil. Yakini, perubahan ini sifatnya hanya sementara. Setiap ibu hamil pasti mengalaminya.

Kesiapan menghadapi perubahan peran Seorang ibu akan menyandang peran yang sangat berbeda daripada sebelumnya. Ini perlu dipersiapkan dengan baik, antara keinginan menggebu untuk segera menimang bayi dan ketakutan luar biasa terhadap peran yang awam bagi dirinya.

Peninjauan kembali motivasi hamil
Sikap ibu hamil yang paling positif terhadap kehamilan adalah mereka yang memandang peran orang tua sebagai kesiapan untuk mengembangkan diri.
Dengan sikap positif dan dukungan dari suami, maka ibu hamil akan lebih siap menghadapi hari-hari sulit selama kehamilan.
Berikut beberapa saran bagi ibu hamil agar kehamilan menjadi optimal :
Menjalani konseling prahamil
Menyembuhkan penyakit yang ada
Menghentikan minum pil KB
Hindari rokok dan alcohol
Menjaga berat badan, usahakan berat badan normal.
Perhatikan lingkungan kerja, apakah berdampak negative atau tidak.
Sering berolahraga
Terus merawat diri dan menjaga kesehatan dengan baik, terutama pada periode 3 bulan pertama.
Perbanyak membaca, mempelajari segala sesuatu sesuatu tentang kehamilan, melahirkan, bayi dan perawatan, serta proses pengasuhan anak.
Lakukan pemeriksaan secara berkala.

Hal lain yang perlu ibu hamil perhatikan adalah masalah gizi. Menurut penelitian, seorang wanita yang sejak masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan selama hamil keadaan gizinya selalu baik akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk melahirkan bayi yang sehat, tanpa komplikasi. Sedangkan ibu hamil yang berat badannya sebelum hamil di bawah batas normal, maka akan melahirkan bayi yang berat badannya juga kurang, atau bahkan tidak berumur panjang.

0 comments:

Post a Comment