Komunitas Taman Kota, Menghidupi Ruang yang Dirampas

iklan
Tempointeraktif.com - Gaya Hidup
Tempointeraktif.com - Gaya Hidup
Komunitas Taman Kota, Menghidupi Ruang yang Dirampas
Sep 4th 2011, 04:05

TEMPO Interaktif, Hafid, Randit, dan tiga teman sebaya lainnya menenteng balon-balon berisi air untuk digantung di tiang kayu jemuran. Ahad pagi itu, mereka akan beradu keahlian memecahkan balon dari jarak jauh dengan sebilah bambu bermata jarum. Setelah semua balon pecah dalam hitungan menit, mereka mencari permainan lain. Sebagian dari anak berusia siswa sekolah dasar dan menengah pertama itu memilih berlatih keseimbangan tubuh dengan egrang.

Pada hari sekolah, anak-anak Kampung Pasirlayung, Padasuka, Bandung, itu biasanya menambah kegiatan di Taman Baca, sebuah perpustakaan seluas 36 meter persegi yang berada di bagian depan kompleks studio pelukis Jeihan. Tempat itu juga diisi kebun, taman, dan pepohonan. Di lahan itulah anak-anak menjadikannya taman bermain bersama Komunitas Taman Kota.

Komunitas itu digagas Adjo Akasia, 31 tahun, sejak 2005. Rekan-rekannya ikut turun tangan sebagai relawan. Semula markasnya berada di gedung Sasana Budaya Ganesha Institut Teknologi Bandung. Mulai dua tahun lalu, mereka pindah ke lahan studio Jeihan. Di sana, relawan komunitas berbagi keahlian hidup dan kreativitas kepada anak-anak, seperti memanfaatkan aneka barang bekas, mengasah kemampuan membuat boneka robot dari komponen elektronik, membuat tempat pensil dari kaleng minuman, belajar memotret, dan membuat film dokumenter.

"Semua kegiatan dan keanggotaan gratis, kami udunan (patungan) saja," kata lajang berambut gimbal itu.

Bentuk sumbangan tak selalu uang. Anggota dan relawan bisa memberi alat-alat tulis, barang bekas, dan buku. Komunitas lain berbagi ilmu dan pengalaman. Sedangkan anak-anak, tanpa diminta, biasanya juga membawa kudapan atau minuman dingin untuk dinikmati bersama di tengah hawa sejuk dataran tinggi Padasuka.

Tiap dua pekan sekali, komunitas tersebut menyambangi taman-taman kota secara bergantian. Kadang juga berulang di satu tempat. Waktunya mulai pukul 09.00 hingga 15.00 WIB. Pada bulan puasa, kegiatan dimulai pukul 15.00-17.00 WIB.

Selama ini sudah 11 taman kota yang mereka singgahi. Lokasi favoritnya berada di Taman Ganesha dan kolong jalan layang Pasteur-Surapati (Paspati) di daerah Balubur, Taman Sari. Di belasan taman itu, mereka biasa menggelar dua kegiatan. Taman Baca menyediakan 200-300 judul buku yang boleh dibaca siapa pun. Adapun Sekolah Taman memberi bermacam pelatihan, di antaranya mengolah bahan daur ulang, merajut, menggambar, membuat puisi kecil, dan bermain permainan tradisional.

Relawan juga mengenalkan fotografi, cetak sablon, menonton film bersama, serta pembuatan video oleh komunitas Sunday Screen. "Kami ingin memperkaya wawasan anak yang tidak didapat di sekolah," ujar tamatan sebuah sekolah menengah kejuruan swasta di Bandung itu.

Awalnya, komunitas itu hanya ingin memberdayakan taman-taman kota. Adjo dan kawan-kawan juga mengajak berbagai komunitas lain yang ada di Bandung untuk bergabung. Ajakan itu untuk mencari jalan keluar bagi anak-anak muda di Bandung yang merasa kehilangan ruang ekspresi setelah tragedi tewasnya belasan penonton band metal lokal di gedung Asia-Africa Culture Center. "Daripada minta tempat baru, kami pakai saja ruang publik yang sudah ada," ujarnya.

Kini para relawan cukup kewalahan memenuhi permintaan anak-anak yang ingin meneruskan belajar hal lain, misalnya bahasa Jepang dan Inggris. "Susah juga karena relawan punya kesibukan lain, jadi mengajarnya tidak bisa konsisten," kata relawan komunitas, Frans Arie Prasetyo, 29 tahun.

Anak-anak juga haus buku. Koleksi buku sebanyak 900 judul, kata Frans, sepertinya sudah habis mereka lahap setiap hari. Padahal pengayaan koleksi hanya mengandalkan hasil donasi dari sponsor atau dana sosial perusahaan. Biasanya, sepulang dari sekolah, mereka mampir ke Taman Baca. Selain membaca, anak-anak itu mengerjakan pekerjaan rumah di sana.

Dampak kegiatan komunitas itu membuat anak-anak yang semula malu-malu menjadi lebih percaya diri. Mereka terlihat berani memprotes, bertanya, dan mengutarakan pendapat.

Orang tua tidak mempersoalkan penampilan para relawan yang beberapa di antaranya berambut gimbal dan bertato. "Mereka mengaku tidak terlalu aneh karena tempat ini biasa didatangi seniman," ujar Adjo.

Gerakan swadaya itu kini telah menular. Sebuah kelompok Karang Taruna di sekitar markas komunitas menerapkan kegiatan dan cara yang sama. Begitu juga perpustakaan warga di Ujung Berung yang dikelola ibu-ibu kelompok pengajian. "Mereka kadang datang bertanya bagaimana mengelola taman baca dan kegiatan anak lainnya," kata Adjo.

Obsesi komunitas sekarang ingin membebaskan taman di Jalan Maluku, yang sejak beberapa tahun lalu dikunci pemerintah, agar bisa dibuka kembali dan dinikmati publik. Di Bandung, kelompok seperti ini menyebar, seperti Bandung Inisiatif, yang memperjuangkan Babakan Siliwangi sebagai ruang terbuka hijau. Salah satu tempat penyerapan air di kawasan Coblong, Bandung Utara, ini sempat kisruh lantaran pohon-pohon besar ditebangi sekelompok orang.

Bandung Inisiatif khawatir daerah itu dijadikan mal atau bangunan usaha yang akan menambah Bandung menjadi kota heurin ku tangtung (padat tak keruan) dan tak nyaman lagi. Tentu saja manfaat Komunitas Taman Kota dan kelompok-kelompok peduli ruang terbuka hijau menjadikan kota lebih berbudaya dan sehat.

ANWAR SISWADI (BANDUNG)

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.
If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions

0 comments:

Post a Comment