Cerita Perempuan di Balik Kain Batik

iklan
KOMPASfemale
KOMPASfemale
Cerita Perempuan di Balik Kain Batik
Oct 1st 2011, 01:11

KOMPAS.com - Untuk kali pertama, Indonesia memproduksi film dokumenter batik. Film yang tidak bercerita soal sejarah atau latar belakang historis dari batik. Bukan juga film tentang kolektor batik. Namun film dokumenter yang mengenalkan ragam motif batik dari lima kota batik ternama, dengan lebih menyentuh realitas kehidupan pembatik, termasuk para perempuan pembatik yang mencintai batik sepenuh hati.

Adalah Nia Dinata, salah satu sutradara ternama di Indonesia yang berhasil mewujudkan satu lagi mimpinya, berbuat sesuatu untuk melestarikan batik sebagai bagian dari warisan budaya. Melalui film dokumenter berjudul "Batik: Our Love Story", Nia menunjukkan satu persoalan yang ditemui di setiap kota batik, regenerasi.

"Saat menjalani riset di Cirebon, Pekalongan, Yogyakarta, Solo, Madura dan Lasem, saya merasa tersentuh dengan para pekerja perempuan yang berdedikasi tinggi. Generasi penerus ada ketertarikan namun belum tentu mau melanjutkan. Kain batik nyatanya tidak sesederhana itu. Di baliknya ada perjuangan dan proses yang tak sederhana," kata Nia saat membuka pemutaran perdana film dokumenter karyanya, di Blitzmegaplex, Grand Indonesia, Jakarta, Jumat (30/9/2011) lalu.

Mimpi Nia memproduksi film dokumenter batik, diakuinya takkan terwujud tanpa komitmen untuk fokus memfilmkan batik, dan tanpa kolaborasi. Dengan misi sosial dan budaya yang sama, di bawah bendera Kalyana Shira Foundation, Nia bekerjasama dengan Kao Indonesia.

"Setelah menyelesaikan riset, saya justru sedih. Saya merasa harus membuat film tentang perempuan yang ternyata masalahnya sama di setiap kota, regenerasi. Film ini akhirnya dibuat dengan mendokumentasikan kegiatan sehari-hari mereka," lanjutnya.

Banyak perubahan yang terjadi di luar rencana awal saat di lapangan, kata Nia. Salah satunya kedatangan rombongan wisata batik di Batik Jeruk Srikandi, Lasem, yang justru membuat film ini lebih hidup.

Banyak cerita terungkap melalui film dokumenter garapan Nia ini. Setiap orang yang menontonnya memiliki kesan personal yang menyentuh rasa empati. Penyanyi Nina Tamam, yang turut hadir dalam pemutaran perdana film dokumenter batik ini mengaku sedih.

"Lain kali kalau beli batik nggak usah menawar," katanya sederhana, lantaran menyaksikan sendiri bagaimana proses pembuatan batik oleh perempuan usia 30-40, generasi tua yang masih konsisten membatik.

Nina menyayangkan minimnya minat generasi muda di sentra batik untuk membatik. Namun menurutnya, hilangnya minat ini tak sepenuhnya kesalahan anak muda. Pengaruh modernisasi begitu kuat sehingga ketertarikan anak muda untuk membatik menipis. Pastinya, setelah menyaksikan film dokumenter batik ini, Nina merasa lebih tergerak untuk menambah koleksi batiknya.

"Dengan membeli batik, menambah koleksi batik,kita juga membuka lapangan pekerjaan," kata perempuan yang menggemari batik pesisir dengan warna cerah sebagai ciri khasnya.

Setelah berhasil membuat film dokumenter tentang batik, Nia mengaku masih menyimpan mimpi lainnya. "Saya ingin bikin film serupa tentang tenun, masih banyak lagi rencana-rencana dan mimpi lainnya," akunya kepada Kompas Female.

Sent from Indosat BlackBerry powered by

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.
If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions

0 comments:

Post a Comment