Buah Lokal yang Terjungkal

iklan
KOMPASfemale
KOMPASfemale
Buah Lokal yang Terjungkal
Oct 21st 2011, 14:56

KOMPAS.com - Lihatlah sekeranjang buah atau tataplah deretan buah di balik etalase toko. Menggiurkan, menggoda mata, dan menggugah selera. Ah, sayang di negeri kaya ini, buah cantik dan menggiurkan itu kebanyakan buah impor.

Di supermarket premium Ibu Kota hingga ke pasar kota kecamatan di banyak daerah, buah-buahan impor mudah didapat. Saat mengantar buah untuk kerabat pun, buah impor lebih kerap dipilih. Kombinasi apel, pir, anggur, dan jeruk, misalnya -sebagian besar buah impor-ditenteng Dewi (34), pegawai negeri sipil di Kota Solo, Jawa Tengah, untuk buah tangan bagi relasi kantor.

"Kalau untuk relasi, tampilan buahnya penting. Nah, yang tampilannya enak dilihat, kan, buah impor. Kalau untuk dimakan sendiri di rumah, lebih penting rasa dan kandungan gizinya, itu biasanya saya pilih yang lokal," ujar Dewi.

Buah impor tidak saja memasuki ranah konsumsi, tetapi juga menusuk ke dalam hal yang lebih substansial, seperti ritual. Di Bali, kini sebagian warga lebih suka menggunakan buah impor sebagai bahan sajen dalam upacara. Dikatakan oleh dosen Institut Hindu Dharma, I Ketut Sumadi, jika mempersembahkan buah impor, warga merasa sesajinya lebih "berkelas" karena buah impor biasanya lebih mahal ketimbang buah lokal. Secara sosial, jika persembahan lebih mahal, yang mempersembahkan pun merasa "kelas" sosialnya lebih tinggi.

"Bahkan ada pandangan doanya lebih sampai kalau menggunakan buah impor ketimbang buah lokal," kata doktor kajian budaya dari Universitas Udayana, Denpasar, itu. Padahal, inti persembahan kepada Tuhan adalah dengan tulus mempersembahkan apa yang kita miliki, berarti juga apa yang tumbuh di sekitar kita.

Namun, perubahan lingkungan seolah tak sejalan lagi dengan ajaran itu. "Banyak tanah sudah berubah jadi rumah, tidak mungkin menanam buah atau bunga lagi. Jadi, mereka semua membeli sekarang. Saat itulah hukum pasar berlaku. Di pasar, buah impor dominan, itulah yang dipersembahkan," ujar Sumadi.

Di luar lingkup rumah tangga, buah-buahan juga menjadi bahan baku industri makanan dan minuman. Di Indonesia, industri ini berkembang baik. Namun, dalam skala besar industri, buah-buahan -atau konsentrat buah- yang jadi bahan baku pun diimpor.

"Untuk minuman ringan sari buah yang diproduksi perusahaan besar, hampir semua bahan bakunya impor karena kontinuitas pasokan harus terjamin. Standardisasi juga ketat, tidak bisa rasa asam dan manisnya beda tergantung musim," ujar Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Franky Sibarani.

Buah-buahan impor yang menjadi bahan baku industri ini umumnya dihasilkan perkebunan besar, bukan kebun rakyat. Pada perkebunan besar, sentuhan teknologi diaplikasikan dari penanaman hingga pascapanen sehingga kontinuitas pasokan serta standardisasi rasa dan bentuk buah bisa didapat.

Tersisih Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau yang dikelilingi lautan, mempunyai curah hujan tinggi dan cahaya matahari sepanjang tahun, ditambah tanah vulkanik yang subur. Karena itu, keanekaragaman hayati di negeri ini amat kaya, juga untuk buah-buahan tropis.

"Dalam perdagangan internasional, buah-buahan tropis kini tengah 'naik daun' alias menjadi tren," kata Ketua Komite Tetap Pengembangan Pasar Pertanian Kadin Indonesia, Karen Tambayong. Membuktikan hal itu, pada 2010, permintaan pasar dunia untuk buah-buahan tropis ditaksir meningkat 87 persen.

Karena itu, menjadi ironi apabila buah-buahan Indonesia -jangankan dikenal luas di pasar dunia- menjadi tuan rumah di negeri sendiri pun belum. Padahal, buah-buahan lokal ini bisa "menang" dalam urusan rasa. Nilai gizinya juga lebih baik karena tidak melalui penyimpanan lama atau pengawetan yang menurunkan kualitas.

Buah-buahan impor umumnya bisa disimpan enam bulan hingga setahun. Bentuk luarnya dapat dipertahankan dengan lapisan lilin atau teknik penyinaran, tetapi vitaminnya merosot.

"Buah impor berkualitas tinggi juga ada di Indonesia, tetapi bukan yang dijual murah sampai ke pasar-pasar kecamatan karena harga buah impor berkualitas bagus yang tidak disimpan lama itu mahal," ujar Reza Tirtawinata, Kepala Divisi Laboratorium dan Riset PT Mekar Unggul Sari yang mengelola Taman Wisata Mekarsari, Bogor.

Selain lebih segar, beberapa buah tropis juga terbukti lebih unggul kandungan vitaminnya dibandingkan buah subtropis. Kandungan vitamin C dan vitamin A pada buah mangga lokal, misalnya, lebih tinggi 10 kali lipat dibandingkan apel impor.

Akan tetapi, buah-buahan lokal kerap kalah "cantik" dari buah impor. "Bagaimana bisa cantik kalau pisang dibawa dari kebun dengan ditumpuk-tumpuk dalam truk, ditekan-tekan pula supaya padat," ujar Reza.

Durian petruk Selain soal penampilan, ketersediaan pasokan buah-buahan lokal untuk pasar dalam negeri pun belum mencukupi. Di Rumah Durian Harum, Jakarta Barat, misalnya, setiap hari terjual 500-600 durian. Sebagian besar jenis montong yang diimpor dari Thailand karena jenis durian ini pasokannya paling banyak sepanjang tahun dan sudah populer.

"Durian lokal sebenarnya juga ada, tetapi stoknya enggak bisa banyak dan jenisnya berbeda-beda tergantung musim. Durian petruk, misalnya, sebenarnya berkualitas paling bagus, paling mahal, dan laku, tetapi paling lama hanya ada sebulan dalam setahun. Itu pun setiap harinya enggak bisa tersedia banyak," kata Alan, kepala toko khusus durian ini.

Di toko swalayan premium seperti Kem Chicks Pacific Place, Jakarta, yang konsumennya lebih banyak orang asing, buah tropis lokal sebenarnya diminati. "Kami memang menyediakan tempat khusus untuk buah lokal karena peminatnya tak kalah dengan buah impor. Ke depan, kami bahkan akan memperbanyak porsi buah lokal," kata Manajer Toko Kem Chicks Pacific Place, Fofo.

Buah lokal berkualitas bagus, rasa ataupun penampilannya, meski tak banyak, bisa juga ditemukan di pasar. Namun, kadang buah lokal ini justru harus "didongkrak" dengan nama "berbau" buah impor. Durian asal Bogor yang rasanya lebih lezat dari montong Thailand, misalnya, dinamai "montong lokal".

Pepaya california dan pepaya hawaii yang mulai banyak dijumpai di pasar modern sekitar Jakarta juga merupakan varietas pepaya yang dikembangkan Institut Pertanian Bogor dengan "nama asli" IPB 3 atau carisya dan IPB 9 atau callina. (CAN/IYA/WKM)

(Nur Hidayati)

Sumber: Kompas Cetak

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.
If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions

0 comments:

Post a Comment