Lifestyle » Fit and Beauty » Diagnosa Osteoporosis Cepat & Akurat
Sabtu, 29 Oktober 2011 - 13:32 wib
(Foto: gettyimages)
AGAR penanganan osteoporosis optimal, perlu metode diagnosa yang akurat. Yang terbaru adalah dengan menggunakan serum betacrosslaps (CTX), yang bisa mengidentifikasi penderita hanya dalam waktu tiga bulan.
Penderita osteoporosis di Indonesia terus meningkat jumlahnya. Saat ini ada sekitar 200 juta penduduk dunia menderita pengeroposan tulang dengan persentase satu di antara tiga wanita di atas usia 50 tahun dan satu di antara lima pria di atas 50 tahun.
Untuk pengobatan osteoporosis sendiri, biasanya dokter akan fokus dalam upaya memperlambat atau menghentikan penderita kehilangan mineral, meningkatkan kepadatan tulang, dan mengontrol nyeri sesuai dengan penyakitnya.
Agar hasilnya optimal, memang tak cukup hanya dengan obat yang canggih. Diperlukan solusi yang meliputi diagnosis yang akurat, kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang sesuai standar terkini dan monitoring secara reguler.
"Penanganan osteoporosis yang optimal bermula dari diagnosis yang akurat, pengobatan selama minimal satu tahun, dan pemantauan terhadap hasil pengobatan. Konsep penanganan yang menyeluruh ini tidak saja membantu para dokter, tetapi juga pasien dan pemerintah, mengingat osteoporosis telah menjadi beban pembiayaan kesehatan, ekonomi maupun sosial," kata Ketua Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (Perosi), Prof DR Dr Errol U Hutagalung FICS SpB SpOT(K) di Jakarta, belum lama ini.
Agar lebih akurat dalam mendiagnosa osteoporosis, perusahaan farmasi terdepan di dunia, Roche, memperkenalkan metode terbaru melalui serum beta-crosslaps (CTX). Menurut Head of Medical Management Roche Indonesia, dr Predy Setiawan, tes penanda tulang (bone marker) ini dapat membantu pasien osteoporosis mendapatkan manfaat pengobatan secara optimal dengan menggabungkan manfaat terapi obat ibandronat sebulan sekali dan pemeriksaan serum tersebut.
"Solusi ini memungkinkan dokter mengidentifikasi respons pasien terhadap terapi dan memprediksi risiko terjadinya fraktur atau patah tulang," tuturnya.
Metode lama pengukuran kepadatan tulang dengan menggunakan bone density measurement (BMD) dengan teknik dual energy x-ray absorption (DEXA), lanjut dia, hanya mampu memantau hasil terapi setelah satu atau dua tahun. Sayangnya, banyak pasien yang merasa bosan dan menghentikan terapi sebelumnya.
Selain itu, karena osteoporosis diderita oleh orang lanjut usia, sering kali dijumpai pasien tidak minum obat sesuai aturan sehingga hasilnya menjadi tidak optimal. Sementara, pemeriksaan beta-crosslaps (CTX) mampu mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi kehilangan massa tulang dan fraktur serta mampu mendeteksi respons pasien terhadap pengobatan hanya dalam waktu tiga bulan saja.
"Ini akan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi," kata Predy.
Dia mengemukakan, osteoporosis pasca-menopause adalah penurunan massa tulang secara bertahap seiring bertambah usia yang meningkatkan risiko kerapuhan dan patah tulang.Kejadian patah tulang lebih banyak terjadi pada wanita lanjut usia karena penurunan densitas tulang secara alami setelah menopause.
"Sesudah mengalami patah tulang belakang yang pertama, risiko patah tulang dari seorang wanita meningkat sebanyak lima kali lipat dalam kurun waktu satu tahun.Karena itu, pencegahan patah tulang yang pertama sangat penting," ujar dia.
Sebenarnya, proses kekeroposan tulang ini berlangsung lama. Umumnya di dalam tubuh, terjadi suatu keseimbangan antara proses pembentukan tulang baru dan penyerapan tulang lain yang berlangsung terus-menerus.
Pada masa anak-anak, proses pembentukan tulang baru lebih banyak terjadi dibandingkan dengan proses penyerapan tulang karena anak dalam proses pertumbuhan. Tulang akan mencapai puncak kepadatan massa tulang (peak bone mass) pada usia sekitar 25–35 tahun.
Setelah itu, proses penyerapan tulang akan terjadi lebih banyak dibandingkan dengan proses pembentukan tulang baru. Dalam keadaan normal, seseorang akan kehilangan 0,9 persen tulangnya setiap tahun.
Namun pada wanita setelah mengalami menopause di usia 40–50 tahun, akan terjadi kehilangan tulang 2–4 persen per tahun akibat menurunnya hormon estrogen. Sementara pada pria, akan terjadi pada usia 50–60 tahun dengan terjadinya andropause akibat berkurangnya hormon testosteron.
Faktor risiko terkena osteoporosis, di antaranya wanita, seseorang yang bertubuh kurus, lanjut usia, telah mengalami menopause, riwayat keluarga, menderita anoreksia nervosa atau bulimia, ras Asia dan Kaukasia, menjalani diet rendah kalsium, serta mengonsumsi obat-obatan tertentu seperti kortikosteroid pada penderita asma dan antasida jangka panjang yang dapat mengganggu penyerapan kalsium.
Selain itu, gaya hidup yang terlalu santai, kurang aktivitas fisik, merokok, minum alkohol, kekurangan vitamin D, serta tidak banyak aktivitas olahraga juga menjadi pencetus osteoporosis. Untuk itu, bagi Anda yang masih berusia di bawah 35 tahun, sebaiknya sedini mungkin "menabung" kalsium. Sementara bagi yang berusia di atasnya,kegiatan untuk merawat tulang agar tetap kuat musti dijalankan.
(Koran SI/Koran SI/ftr)
0 comments:
Post a Comment