Batik modern rancangan Eddy Betty (VIVAnews/Febry Abdinnah)
VIVAnews - Coba datangi tiap daerah di Indonesia dan perhatikan kain-kainnya. Anda akan menemukan kekayaan tekstil yang luar biasa. Mulai dari motif, bahan, warna hingga cerita dan konsep filosofis di dalamnya.
Adalah hal yang sangat menjanjikan jika ragam tekstil ini lalu dikembangkan dan dimanfaatkan dengan baik. Namun sayang, masih banyak orang mendewakan produk luar negeri dibandingkan produk dalam negeri.
Banyak orang berbangga hati ketika membalut tubuh dengan busana-busana rancangan rumah mode ternama, seperti Louis Vuitton, Chanel, Prada, atau bahkan sekelas Topshop, dan Zara.
"Masyarakat Indonesia sampai saat ini lebih bangga dan merasa dihargai ketika mereka menggunakan pakaian-pakaian mahal dari luar negeri," ujar Dina Midiana, perancang sekaligus Direktur Indonesia Fashion Week 2012, ketika ditemui VIVAnews beberapa waktu lalu.
Padahal kalau diperhatikan, produk buatan lokal pun tak kalah trendi dan berkualitas. Bahkan, perancang-perancang Indonesia dikenal memiliki kreativitas tinggi dalam memanfaatkan budaya dan kekayaan dalam rancangannya. Sedangkan produk-produk luar hanya memiliki garis rancang yang sederhana, dan cenderung berulang.
"Produk kita sebenarnya tidak kalah dengan produk buatan luar, hanya kekurangan kita ada pada branding. Sampai saat ini, belum ada brand yang kuat dari produk Indonesia sehingga belum dapat menembus pasar internasional," kata Dina.
Dengan kalahnya merek-merek lokal dibandingkan merek luar, tak heran jika masyarakat lebih memilih berbelanja di luar negeri meski kualitasnya pun tak jauh berbeda.
Selain memersiapkan produk dan brand yang kuat agar dapat menembus pasar global. Dina menyadari harus ada edukasi terhadap masyarakat Indonesia. "Jangan sampai kita hanya menjadi target pasar."
Ia mencontoh salah satu negara Asia seperti Jepang saat ini telah menjadi salah satu pusat mode dunia. Itu karena masyarakatnya sangat bangga menggunakan produk lokal.
"Masyarakat Jepang sangat bangga dengan produk lokal mereka. Baik di dalam maupun di luar negeri, mereka bangga memamerkan produk mereka," kata Dina.
Follower, bukan trendsetter
Tak hanya itu, Dina menjelaskan, masyarakat Indonesia cenderung menjadi follower dibandingkan trendsetter. Contohnya, kita akan merasa bangga dan senang ketika budaya kita diakui dunia atau ada artis papan atas dunia yang menggunakan produk kita.
Secara serempak kita akan mengaku dan kembali meneriakkan gerakan cinta produk Indonesia. Namun sayang, bagi sebagian orang ini hanya sebatas kata karena tidak dilanjutkan dengan gerakan yang konkret.
"Padahal, untuk bersaing di luar, kita harus menjadi sumber inspirasi. Orang harus melihat ke arah kita, kalau perlu buat mereka selalu penasaran dengan isu terbaru, tren terbaru kita," ujarnya.
Salah satu cara untuk memajukan industri mode Indonesia adalah dengan membungkus konten lokal sebagai inspirasi. Lalu, menjadikannya produk-produk berkualitas dunia.
"Jika seluruh masyarakat bangga dan melakukan langkah-langkah konkret, maka akan semakin mudah untuk kita memperkenalkan produk-produk ini ke dunia internasional. Kalau di dalam negeri sudah hyped, masyarakat internasional tentu akan mengikuti. Ini juga bisa jadi ajang promosi pariwisata Indonesia," kata Dina
Batik memang sudah semakin dikenal masyarakat internasional, tapi tugas ini belumlah selesai. Masih banyak kekayaan alam, atau fashion item dari daerah yang bisa diekspos.
"Ketika kita sudah berhasil memperkenalkan produk-produk lokal ke masyarakat internasional, bukan tidak mungkin target pemerintah dalam menjadikan Indonesia sebagai pusat mode Asia di tahun 2015 dan pusat mode dunia di tahun 2025 akan terwujud," ujar Dina. (pie)
• VIVAnews
Belum ada komentar untuk ditampilkan pada artikel ini.
Kirim Komentar
Anda harus Login untuk mengirimkan komentar
0 comments:
Post a Comment