Lifestyle » Family » Di Balik 5 Tahun Usia Pernikahan
Minggu, 21 Agustus 2011 - 07:23 wib
Di balik 5 tahun usia pernikahan. (Foto: Getty Images)
SUKA duka dalam mengarungi rumah tangga selama lima tahun atau lebih tentu lebih "semarak", bukan? Apalagi umumnya dalam rentang lima tahun, Moms and Dads sudah memiliki satu atau dua orang buah hati.
Meski ada yang mengatakan usia rawan pernikahan itu di bawah lima tahun, belum tentu segalanya aman, tenteram, sentosa jika berhasil melewati lima tahun tersebut.
Menurut Dr Adriana S. Ginanjar, M.S, Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, ada sederet masalah yang kerap terjadi dalam lima tahun masa pernikahan, antara lain masalah penyesuaian dan kecocokan satu sama lain, bertambahnya tuntutan peran (misal sebagai istri-ibu-wanita yang bekerja), adanya budaya di Indonesia yang mengikutsertakan keluarga besar (metua, adik atau kakak ipar dan lainnya), perbedaan adat istiadat, harapan keuangan dan pengelolaannya, perbedaan harapan yang kurang dikomunikasikan sejak awal pernikahan.
Pentingnya kerja sama
Harus diakui, pada awal lima tahun pernikahan akan ditemukan beragam masalah yang berasal dari dalam keluarga.
Ini wajar. Karena terkadang apa yang diharapkan pada awal pernikahan seperti setelah bulan madu akan harmonis, mempunyai keluarga kecil bahagia, minim konflik, dan lainnya tak seindah kenyataan. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama dan saling mendukung agar dapat bertahan.
Hindari topik sensitif dengan nada negatif
Berbeda pendapat dengan pasangan itu lumrah, tinggal bagaimana Anda menyikapinya. Cobalah memahami perbedaan laki-laki dan perempuan, mulai dari pola pikir, arti uang bagi suami/istri, makna hubungan intim dan sebagainya.
Interpretasi Moms and Dads perlu disamakan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Bijaklah dalam menghadapi topik-topik sensitif dalam rumah tangga. Misal suami dan istri memiliki perbedaan pendapatan yang besar, hindari mengulas uang!
Selain itu, topik sensitif lainnya ialah keluarga besar, hubungan intim, peran istri yang sudah keibuan alias lebih fokus pada anak.
Jadi, penting bagi Anda berlaku sebagai pendengar yang baik tanpa mencela pasangan, agar ia merasa dibutuhkan serta dihargai.
Hadapi, realistis dan toleran
Saat masih lajang, tak sedikit wanita yang memiliki 'impian' pernikahan yang indah bak cerita dongeng atau perjalanan rumah tangga semulus batu pualam. Hmmm, tentu bukan hal bijak untuk dipercayai ya!
Selain menyatukan semua yang berbeda menjadi kesatuan, pernikahan -menurut budaya di Indonesia- juga menyatukan dua keluarga besar. Tentu ini merupakan sebuah tantangan. Jadi, melihat perkawinan bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan, mungkin dapat membuat kita memahami kenyataan dan siap menghadapinya.
Toh, harmonis bukan berarti keluarga tanpa pertengkaran dan tidak harus selalu satu kata seirama.
Yang terpenting, terimalah perbedaan dari pasangan Anda dan pahami bahwa memang ada masalah atau perbedaan yang tak bisa terselesaikan dan harus diterima sampai kapanpun. Inilah bentuk toleransi terbaik.
Lima kiat tetap harmonis:
1. Ungkapkan harapan-harapan Anda berdua secara konkret dan terbuka. Bicarakan dan sesuaikan dengan perannya masing-masing. Misal Dads sangat senang jika setiap bangun tidur disediakan teh manis hangat dan kudapan manis, bukan hidangan berat seperti nasi goreng atau bubur ayam.
2. Setiap pasangan bisa berubah. Jadi, selalu luangkan waktu untuk mengenal pasangan dan mengetahui apa yang saja berubah. Misal, dua tahun lalu sang istri masih sering khawatir soal keuangan namun tahun ini sudah bisa mengaturnya lebih baik. Bangun komunikasi positif dan mau saling mendengarkan –bukan berisi kritikan- agar semua masalah dapat dibicarakan dengan tidak saling menjatuhkan.
3. Cukup realistis, bukan hanya menuntut melainkan saling memberi. Realistis yang dipahami adalah perkawinan bukan hanya ada kebahagiaan namun juga bertemu dengan konflik dan harus diselesaikan. Diskusikan jika ada yang diinginkan atau dituntut tapi jangan lupa memberikan peluang. Contoh, suami menginginkan sang istri untuk tidak bekerja setelah menikah, namun berikan peluang istri untuk memilih sekolah atau les si kecil.
4. Perlunya honeymoon kedua, ketiga dan seterusnya. Kehadiran si kecil bukan alasan bagi Moms untuk tidak bisa melakukan hal berdua saja dengan Dads. Tak harus keluar negeri atau luar kota, menikmati sehari bersama suami dengan menonton film atau makan makanan favorit berdua saja sudah cukup.
5. Jika masalah tetap tidak bisa teratasi meski sudah banyak yang dilakukan dan didiskusikan, tak ada salahnya berkonsultasi dengan psikolog. (Sumber: Mom&Kiddie)
(//nsa)
0 comments:
Post a Comment