KOMPAS.com — Seorang laki-laki pernah mengungkapkan kepada kelompok perempuan, "Katanya sudah persamaan jender, kok bangku di bus mesti didahulukan kepada perempuan? Bukankah kalian menuntut persamaan, jadi jangan meminta perbedaan, dong?"
Rupanya di antara masyarakat kita masih ada salah pengertian dalam menerima misi gender equality (kesetaraan jender). Kesetaraan jender kerap disalahartikan dengan equation gender (persamaan gender). Padahal, equality tidak sama dengan equation. Kesetaraan gender bukan berarti persamaan gender, semua disamakan antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan jender mengangkat persamaan akses, peluang partisipasi, kontrol, dan manfaat yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Hal ini disampaikan Erna Surjadi dalam buku terbaru yang ditulisnya, yakni Gender Skateboard. Buku ini merupakan buku ketiga yang ditulis setelah buku Gender Harmony dan Bagaimana Mencegah KDRT. Buku setebal 267 halaman ini berisi 17 bab dengan kisah-kisah nyata tentang kehidupan rumah tangga. Di akhir setiap kisah, Erna menambahkan pembahasan dari sisi sosiologi dan teori keluarga, sesuai dengan bidang yang dikuasainya. Buku ini menjadi semacam pedoman pemahaman kesetaraan jender, terutama untuk kehidupan rumah tangga, yang dibahas dari sisi teori sekaligus kasus-kasus yang telah terjadi di masyarakat.
Di halaman 53, Erna menulis, "Ibaratnya tangan kiri dan tangan kanan, keduanya sama dihargai, dicuci dengan sabun dan disayangi, walaupun lebih sering tangan kanan yang digunakan, bukan berarti tangan kiri dilatih atau diubah persis seperti tangan kanan. Kesetaraan di sini berarti suami-istri memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan, perkembangan, keuangan, pekerjaan, makanan, rekreasi, waktu luang, dan lain sebagainya."
Pemberian kesempatan kepada kaum perempuan menurut Erna tidak berarti dikompensasikan dengan "kekuasaan jender" karena demokrasi tidak dikenal dalam demokrasi yang adil. Penguasaan sumber daya kebanyakan dimiliki kaum laki-laki di ranah publik, tetapi bukan berarti berlanjut ke rumah tangga. Seyogianya penguasaan ranah domestik dan publik dapat diseimbangkan antara laki-laki dan perempuan sebagai mitra sejajar dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Demikian tulis Erna di halaman 54.
Erna menyebutkan pula bahwa pasangan yang membangun gender harmony artinya telah berupaya mengangkat rasa hormat atau penghargaan (respect) terhadap pasangannya untuk mencapai kerukunan (united) dalam berbagai aspek kehidupan: sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Politik di sini dihubungkan dengan proses pengambilan keputusan yang tidak lagi didominasi suami (sesuai budaya patriarki), tetapi bersama-sama berdasarkan egalitaria etos bahwa suami-istri adalah mitra sejajar dalam kehidupan rumah tangga. Maka dari itu, dengan satu kesepakatan proses untuk maju—dianalogikan dengan skateboard—pasangan suami-istri memiliki dasar pijak yang sama, tidak sendiri-sendiri, dan hanya bertemu ketika dibutuhkan (apakah untuk hubungan seksual atau kepentingan publik).
Di halaman 182, Erna memaparkan tentang The Five Freedom yang disusun oleh Virginia Satir (seorang penasihat keluarga) dalam bukunya, The Family. Lima kebebasan tersebut adalah:
1. Kebebasan untuk melihat dan mendengar (menyimpulkan) apa yang ada di sini dan saat ini, dan bukannya apa yang telah ada, akan ada, dan seharusnya ada.
2. Kebebasan untuk berpikir apa yang dipikirkan pasangannya, dan bukannya yang harus pasangannya pikirkan.
3. Kebebasan untuk merasakan apa yang pasangannya rasakan, bukan apa yang harus dirasakan pasangannya.
4. Kebebasan untuk bertanya apa yang pasangannya inginkan, bukan menunggu diberi izin.
5. Kebebasan untuk mengambil risiko atas diri sendiri, bukan memilih yang paling aman dan selalu bermain untuk keselamatan.
Menurut Erna, setiap orang memiliki kebebasan ini. Maka dari itu, ketika seseorang memakainya, perlu dipikirkan bahwa orang lain pun memiliki kebebasan yang sama. Begitu pula dalam hubungan suami-istri.
Ketika ditemui Kompas Female dalam peluncuran bukunya di Graha Kenisah, Jakarta, Senin (22/8/2011) lalu, Erna mengatakan buku yang ditulisnya juga perlu dibaca oleh pasangan yang masih berpacaran. "Jangan sampai salah pilih suami atau istri. Harus cari yang punya visi-misi yang sama. Buku ini bisa jadi gambaran buat mereka, apa saja masalah yang dihadapi dalam keluarga," ujar Erna.
Itu sebabnya bukunya juga membeberkan bab dengan judul "Spirit Gender di Masa Pacaran". Di halaman 127, ia menjelaskan bahwa masa pacaran seharusnya dapat dipakai untuk mempelajari karakter pasangan, menyesuaikan diri, dan memutuskan apakah dapat berselancar ria di kemudian hari sebagai pasangan suami-istri. Erna menyarankan agar semasa pacaran, para pasangan dapat membangun kebebasan untuk melihat dan mendengar, merasakan, menanyakan keinginan, memikirkan apa yang pasangan pikirkan, serta berani mengambil risiko untuk kepentingan berdua dengan penuh integritas diri. Tak lupa kepada misi bersama untuk membangun keluarga mandiri, maju, sehat, dan sejahtera.
Sent from Indosat BlackBerry powered by
0 comments:
Post a Comment