KOMPAS.com - Sebuah senyuman boleh dikatakan sebagai ekspresi wajah yang paling sering dipelajari. Mengapa demikian? Karena senyuman memiliki makna yang dalam untuk hidup seseorang. Marianne LaFrance, PhD, profesor bidang psikologi dari Universitas Yale, yang juga penulis buku Lip Service, melakukan penelitian berdasarkan studi biologi, antropologi, bahkan ilmu komputer mengenai senyuman ini. Dalam penelitian terbarunya itu, LaFrance mengungkapkan enam fakta mengenai senyuman yang perlu Anda ketahui.
Orang yang suka tersenyum lebar umurnya lebih panjang. Tahun lalu, peneliti memaparkan sebuah studi yang antara lain menyebutkan bagaimana mereka menganalisa foto dari 230 pemain bisbol yang dimuat di Baseball Register. Dari foto-foto tersebut, terlihat bahwa rata-rata pria dengan senyuman lebar dan cemerlang hidup 4,9 tahun lebih lama daripada mereka yang hanya tersenyum sepintas, dan 7 tahun lebih lama daripada mereka yang tidak tersenyum sama sekali. Tentu saja, senyum lebar tak selalu bisa dikaitkan dengan umur panjang, namun sebuah senyuman menunjukkan perasaan yang positif, dan perasaan yang positif berhubungan dengan kehidupan yang sejahtera.
Senyum memancarkan suatu kekuatan yang tersembunyi. Misalnya begini, ketika seseorang menampilkan senyuman yang begitu cepat menghilang (karena mungkin durasinya hanya sepersekian detik), orang lain akan susah menangkap senyuman tersebut. Namun bagi orang yang selalu tersenyum, dunia selalu dipandang lebih menyenangkan. Cerita yang membosankan bisa jadi lebih menarik, gambar-gambar yang netral terlihat lebih positif, bahkan minuman yang tawar bisa terasa lebih bercita rasa.
Kebahagiaan terdiri atas tiga tingkatan. Sebuah artikel di British Medical Journal melaporkan bahwa cinta memang sangat mungkin disebarkan. Ketika seseorang sedang bahagia, perasaannya yang positif bisa ditransfer kepada orang-orang yang ada di lingkarannya melalui jejaring sosial. Jadi ketika Anda tersenyum, teman dari teman Anda pun bisa ikut tersenyum.
Ada dua tipe senyuman. Senyum yang tulus dan senyum yang palsu diatur oleh dua jalur saraf yang berbeda. Oleh karena itu orang yang bagian tertentu dari otaknya mengalami kerusakan pun masih dapat menampakkan senyuman spontan meskipun mereka tidak mampu tersenyum dengan kemauannya. Para peneliti berspekulasi bahwa nenek moyang kita mengembangkan sirkuit saraf untuk memaksa senyuman karena secara evolusioner hal itu menguntungkan untuk menutupi ketakutan dan kemarahan mereka.
Untuk mengetahui senyuman palsu seseorang, amati matanya. Orang yang tersenyum tulus, otot-otot wajahnya yang disebut orbicularis oculi tanpa sengaja akan berkontraksi, membuat kulit di sekitar matanya berkerut. Kebanyakan dari kita tidak mampu menggerakkan otot-otot ini dengan bebas. Artinya, ketika seseorang memalsukan senyumannya,otot-otot orbicularis oculi-nya tidak akan bergerak.
Senyum itu mempunyai "aksen". Budaya ternyata juga mempengaruhi cara orang tersenyum. Orang Amerika, misalnya, saat tersenyum berfokus pada gerakan mulutnya. Hal ini bertentangan dengan orang Jepang yang mengutamakan senyumannya di bagian mata.
Sent from Indosat BlackBerry powered by
Sumber: Oprah
0 comments:
Post a Comment