TEMPO Interaktif, Ruang tengah Kafe Kopi Merah di Jalan Cipete Raya 11, Jakarta Selatan, pada Rabu sore lalu, disulap layaknya bioskop. Suasana gelap. Kursi-kursi disusun berjajar. Di depan terpampang layar putih berukuran 1 x 1,5 meter. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari proyektor yang tengah memutar sebuah film.
Sekitar belasan orang yang tergabung dalam Komunitas Pencinta Film Indonesia Jadul (KPFIJ) sedang menggelar hajat. Mereka menyaksikan film perjuangan Kereta Api Terakhir besutan sutradara Mochtar Soemodimedjo. Acara nonton bareng film yang dibuat pada 1981 ini dilakukan bersamaan dengan hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Selain Kereta Api Terakhir, film lain yang diputar adalah Janur Kuning.
Pemutaran film perjuangan lawas ini dimaksudkan untuk memupuk kembali semangat kebangsaan. "Kami harap muncul semangat patriotisme dalam diri kami," kata Suyoto Achamdi, 35 tahun, penggagas KPFIJ. Ia merasa prihatin terhadap minimnya pemutaran film perjuangan di televisi dalam acara Agustusan.
Selain menonton film perjuangan pada Agustus, KPFIJ kerap menggelar acara nonton film zaman dulu (jadul) setiap bulannya. Beragam genre film pernah diputar, mulai film kolosal, silat, drama, hingga horor. Kegiatan itu dilakukan setiap bulan di kafe yang sama.
Rasa suka terhadap film Indonesia lama umumnya lahir dari kenangan masa kecil. Diding Gunarto, misalnya. Pria 30 tahun ini sampai terobsesi terhadap semua film Meriam Bellina. Dia telah menonton hampir semua film Meriam yang berjumlah sekitar 90 judul dan mengoleksi puluhan cakram padat artis cantik itu.
"Saya tergila-gila sama dia," ujar Diding. Dia bahkan pernah bolos sekolah hanya untuk menonton film Meriam yang berjudul Ketika Musim Semi Tiba saat film itu diputar di salah satu stasiun televisi swasta.
Kegandrungan Diding terhadap film Meriam bermula saat dirinya diajak nonton film Catatan Si Boy pada 1987. Saat itu Diding, yang tinggal di Semarang, diajak temannya menonton di bioskop. Sejak itu, kekagumannya kepada sosok Meriam mulai tumbuh. "Dia itu forever young-lah. Saya ingin sekali bertemu. Pingin meluk," kata Diding, tersipu.
Lain pula Mabruri, 23 tahun, yang menyukai hampir semua film jadul. Koleksi cakram padatnya berjumlah 150 judul film. Demi mendapatkan film jadul, pria yang disapa Bruri ini kerap berburu ke Glodok atau membelinya di toko online. Sebagian koleksinya didapat dari hasil barter sesama anggota.
Kesukaannya terbentuk dari kenangan nonton layar tancap. Saat itu, Bruri, yang belum genap 10 tahun, menonton film Saur Sepuh. Dia juga amat menggemari film Lupus, yang dibintangi Ryan Hidayat. Film itu dinilainya sebagai film remaja yang bagus. "Waktu saya kecil, kakak bilang Lupus bagus, waktu nonton, beneran bagus," ucap Bruri.
Terkadang, ketika komunitas yang dibentuk pada Januari 2010 ini menggelar acara nonton bareng, mereka juga menghadirkan artis dalam film tersebut. Mereka, misalnya, pernah menghadirkan Baron Hermanto saat nonton bareng film Tutur Tinular dan Paramitha Rusady, yang main dalam film Galau Remaja.
Dalam pemutaran film Kereta Api Terakhir, artis Mark Sungkar hadir. "Komunitas ini bagus sekali. Kita bisa belajar dari kelebihan dan kekurangan film-film lama untuk membuat film bagus," kata ayah artis Shireen Sungkar ini. Dia juga tertarik untuk bergabung.
KPFIJ juga kerap mengadakan kegiatan lain, seperti berburu bareng film-film jadul serta mengikuti bazar. "Ke depan, kami ingin bikin layar tancap," ujar Suyoto, yang telah mengoleksi 600 judul film jadul. Saat ini jumlah anggota KPFIJ telah mencapai 2.400 orang, dengan rentang usia 20-50 tahun.
AMIRULLAH
0 comments:
Post a Comment