Lifestyle » Fit and Beauty » Harga Obat Generik Kok Lebih Mahal?
Kamis, 27 Oktober 2011 - 15:35 wib
Fitri Yulianti - Okezone
(Foto: gettyimages)
KETERJANGKAUAN obat menjadi pondasi bagi terbukanya akses terhadap sebanyak mungkin orang. Pemerintah diharapkan punya sistem yang jelas soal pengendalian harga obat.
Akses kesehatan merupakan hak setiap individu. Kenyataannya, obat masih menjadi monopoli kalangan tertentu dan tertutup bagi kalangan lainnya. Ketika kesenjangan sosial menjadi salah satu penghalang akses warga terhadap obat-obatan, solusi obat generik pun muncul.
Obat generik dipasarkan di Indonesia dalam dua jenis, yakni menggunakan nama generiknya dan memakai merek dagang. Salah satu jenis yang dijual dengan nama generiknya adalah obat generik berlogo (OGB) yang merupakan program pemerintah. OGB dapat dikenali dengan logo lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan "Generik" di tengah lingkaran.
Sementara, obat generik bermerek justru tidak diperlakukan sebagai obat generik. Dengan kemasan lebih menarik, harga obat bermerek jauh lebih mahal dibanding obat generik tanpa merek, padahal kandungan zat aktifnya sama. Kenyataan yang ditemui, harga obat generik justru lebih mahal ketimbang obat dengan obat paten.
"Apakah obat generik sebagai copy-an dari obat paten selalu lebih murah? Enggak, ini yang terjadi di Indonesia. Orang Indonesia sepertinya tidak punya price sensitivity. Bahkan ketika harga obat menjadi lebih murah, permintaan menjadi sedikit," kata Kent K. Sarosa, Business Unit Director GlaxoSmithKline Indonesia dalam diskusi bertajuk "Mengupas Akses terhadap Obat di Indonesia" di Black Cat Restaurant, Plaza Senayan Arcadia, Jakarta, Kamis (27/10/2011).
Dalam siklus produksinya, sebuah obat yang pertama kali ditemukan (new compound entity) memiliki hak paten 15-20 tahun. Ketika hak patennya kadaluwarsa, namanya menjadi originator. Dan ketika hak paten obat inipun kadaluwarsa, dibuatlah copy-annya bernama generik.
Ketika sampai ke tahap generik, sebuah obat semestinya dibanderol dengan harga lebih murah. Sebagai contoh, harga obat generik biasanya lebih rendah 30-80 persen dari obat paten, tapi kenyataannya tidak demikian.
"Badan Pengawas Obat dan Makanan seharusnya sudah mengendalikan. Kita tidak punya sistem pengendalian harga obat," sahut Dra Nani Sukasediati, Msc. Pharm, National Program Officer WHO Focal Point for Essential Drugs and Medicine, WHO Country Office Indonesia, pada kesempatan yang sama.
"Berdasarkan peraturan yang ada, pemerintah hanya membeli obat generik. Seandainya OGB habis, boleh beli obat generik bermerek yang harganya maksimal 3 kali dari OGB, tidak boleh mahal-mahal karena public sector yang pertama adalah ketersediaan. Tapi karena persaingan bisnis, ada juga obat yang lebih murah dari generik," tambahnya.
Belum lagi soal penganggaran kesehatan, khususnya obat-obatan, yang menurutnya kurang diprioritaskan. "Berapa persen pemerintah harus mengeluarkan uang untuk gaji pegawai yang tidak produktif? Lebih dari 30 persen," tutupnya.
(ftr)
0 comments:
Post a Comment