PESONA keindahan motif dan ragam hiasnya menjadikan tenun ikat Flores cinderamata wajib setiap wisatawan yang bertandang ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Nyatanya, proses kreatif produk ini memiliki tantangan tersendiri.
Setiap daerah di NTT menampilkan corak serta warna tenun ikat berbeda-beda. Perbedaan ini menjadikan tenun ikat semakin menarik untuk disimak dan dikaji. Dan, tenun ikat Flores menjadi kriya tenun yang perlu dilestarikan keberadaannya.
Salah satu di antara sumber daya yang masih mengembangkan tenun ikat Flores, ialah tiga generasi tenun tradisi Flores "Yayasan Cinta Nusantara". Mereka adalah Martha Kloe (72), Alfonsa Horeng (37), dan Maria Yuwanti (29).
Kendati tenun ikat Flores sudah diakui dunia, mereka mengakui masih terdapat tantangan dari daerah asalnya. Halangan tersebut adalah sumber daya manusia (SDM).
"Sebab, satu orang wanita di sana bisa pegang enam yayasan tenun ikat sekaligus," papar Alfonsa kepada okezone ketika ditemui di "Katumbiri Expo 2011", Jakarta Convention Center, Rabu (7/12/2011).
Alasan itulah yang membuat mereka kesulitan mempertahankan kualitas tenun ikat yang dihasilkan.
"Kerjanya menjadi tumpang tindih. Bisa saja mereka mendapatkan banyak uang dengan bekerja di banyak yayasan, tapi begitu ditagih barangnya (hasil tenun-red) mereka kerepotan sendiri," jelasnya.
Alfonsa mencoba memberikan satu solusi. Ia mengatakan, para pengrajin perlu diberi jaminan dari satu yayasan saja untuk hidup yang lebih layak.
"Kalau ada yang menawarkan kain tenunnya ke saya, saya tak langsung beli, tapi lihat dulu bagaimana kualitas tenunnya. Kalau bagus, saya sarankan ia untuk bergabung hanya untuk yayasan saya. Kalau sudah terikat, semua akan terasa lebih baik," tutupnya. (ftr)
0 comments:
Post a Comment