Oleh Er Maya Nugroho
HARI ibu, tepat di 22 Desember, adalah hari dimana kami, anak-anak negeri mendadak mengharu biru, memeluk ibu kami, mendekapnya erat dan berbisik "aku sayang, ibu". Peluk, kecup, coklat, buket bunga lalu dipersembahkan. Khusus di hari itu, ibu-ibu di negeri ini boleh istirahat sebentar dari pekerjaan mereka mengurus rumah. "Biarkan kami, anak-anak yang membereskan tugas-tugasmu, meski mungkin hanya khusus di hari ini saja kami ingin meringankan bebanmu, ibu."
Ya, nampaknya momen hari ibu menjadi terasa begitu spesial bagi kami. Karena kami, anak-anak itu, tak pernah perlu merasa takut akan kehilangan pegangan saat melangkah, karena ibu setia mendampingi agar kami tidak terjatuh, menyediakan ruang bagi kami untuk terbuka, bersedia menjadi teman, sahabat yang bijak, pun melindungi kami dengan sepenuh jiwa. Hingga air mata dan darah pun rela mereka pertaruhkan.
Lantas, bagaimana dengan nasib anak-anak yang merasa tak lagi dicintai ibu mereka? Sean, Exel, atau Indigo, mungkin salah satu dari anak-anak itu, yang hanya menganggap hari ibu hanyalah sebuah hari, tanpa perlu dimaknai lebih dalam. Seperti pernyataan Axel, beberapa waktu lalu, saat media pernah gencar memberitakan ibunya, Ayu Azhari yang menelantarkan anak-anaknya.
"Ibu kami menelantarkan kami, tidak dikasih makan, Sean tidak diurus lagi, tidak boleh ke rumah," ungkap Axel.
Sementara Indigo yang masih berusia 12 tahun memiliki kisahnya sendiri. Ia yang ingin merasai dipeluk dan dimanja dalam dekap ibunya yang hangat justru tak gentar melakukan sayembara. Siapapun yang bisa menemukan ibunya, Sari Soraya Ruka, yang telah menelantarkan ia dan ketiga adiknya, akan dihadiahi uang sebesar Rp 20 juta.
Anak adalah titipan Tuhan - amanah, yang sepenuhnya harus dijaga. Ayu Azhari atau Sari Soraya Ruka jelas tak alpa akan kodratnya sebagai ibu. Yang mengandung, melahirkan dan merawat malaikat kecilnya hingga kelak ia bisa mandiri. Sayang, di tengah beban hidup yang semakin berat, tak jarang banyak ibu memilih merelakan anak-anak tak berdosa itu terlantar atau sengaja ditelantarkan.
Bahkan singa ganas pun tidak akan tega memakan anaknya sendiri. Begitu juga seorang ibu tidak akan menyia-nyiakan buah hatinya begitu saja. Sejahat, sekejam apapun sang ibu, kasihnya dijamin sepanjang masa, meski kasih anak hanyalah sebatas galah.
"Saya adalah WNI yang juga perlu mendapatkan perlindungan hukum dan hak asasi manusia selaku seorang ibu yang mengalami perlakuan sewenang-wenang dari seorang warga Negara Amerika yang sudah jelas melanggar peraturan keimigrasian di Indonesia dan mengancam keselamatan jiwa keempat anak saya," kata Sari Soraya Ruka saat memberikan keterangan pers kepada media di Jakarta, (10/12).
Sari Soraya Ruka menegaskan tidak memiliki niat sedikitpun untuk menelantarkan keempat orang anaknya, Indigo Liliyan Gattenio (12), Hope Elisabeth Gattenio (10), Joy Elisabeth Gattenio (10), dan Nadia Eve Gattenio (4) yang kini tinggal bersama mantan suaminya, Eli Gattenio, di Bali.
Kota-kota besar seperti Jakarta, Bali, Surabaya, Bandung atau Semarang, barangkali telah beralih menjadi ladang subur eksploitasi terhadap anak. Kota besar dengan segala pertumbuhannya yang melesat cepat di segala sektor, seperti tidak memberikan ruang bagi siapapun yang lemah untuk bertahan di tengah tekanan eknonomi yang semakin memberat.
Siang yang terik, di sebuah sudut jalan di kota Semarang, saat anak-anak seharusnya tidur siang, beberapa diantara mereka malah masih di luar sana. Bertelanjang kaki, menantang matahari sembari membawa setumpuk koran lusuh. Sementara anak laki-laki kecil berperawakan kurus sekedar duduk-duduk di bawah lampu traffic light sambil memangku adik kecilnya (yang mungkin sekedar sewaan), mengharap dengan iba, recehan demi menyambung hidup makan nasi bungkus tanpa lauk. Lantas, dimana ibu mereka? Sebuah kenyataan yang perih, "Ibu memintaku membantunya mencari uang". Miris, tekanan ekonomi telah menjadi alasan pembenaran mempekerjakan anak-anak di bawah umur.
Ya, bagai kehilangan pegangan begitulah yang terjadi pada anak-anak itu, pada Sean, Exel, juga pada Indigo dan ketiga adiknya. Ibu yang seharusnya menjadi tempat mereka berlindung, mengadu bahkan menggelendot manja tak lagi mereka temui. Ibu, sang sosok lembut dan penuh kasih miliknya sepertinya hanya ada dalam cerita dongeng seribu satu malam.
Pengaruhi kejiwaan anak
Sebuah kemirisan, ketika ibu yang seharusnya mengajarkan kebaikan dan kasih sayang, mengambil hak mereka yang ingin dikasihi, disayangi. Akibat tekanan ekonomi yang mendera, sang ibu lantas tega meminta anaknya menjadi pengemis. Bahkan Arumi Bachsin, yang dimiliki publik itu, pernah berada pada fase pahit itu, memilih kabur dan melaporkan ibunya ke polisi karena merasa ditekan untuk bekerja tak kenal waktu.
Keterbatasan ekonomi adalah ujian yang maha berat bagi kedekatan seorang ibu dan anaknya. Psikolog dari University of Minnesota Jeffry A. Simpson mencoba mengurai alasan itu dalam penelitian yang pernah dilakukan. Kondisi ekonomi adalah hal yang sanggup memicu terjadinya situasi penuh tekanan antara ibu dan anak.
Tak pelak, bayi yang diperlakukan salah, akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang sering melawan dan defensif. Sementara bayi yang mendapat perhatian dan dukungan akan berpikir positif terhadap itikad orang lain. "Sebelum Anda bisa mengingat dan berbicara, pikiran telah merekam sikap implisit ini," ungkap Simpson.
Ya, perkembangan psikologis anak secara garis besar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor kejiwaan bawaan (bersifat biologis bawaan dari lahir) dan faktor lingkungan (terutama lingkungan keluarga). Seperti yang terjadi pada Sean dan Exel, lingkungan keluarga memiliki andilnya mengubah mereka yang dulu manis kini menjadi anak-anak yang keras, melawan.
Sahabat anak
Sebuah komunikasi dua arah yang penting antara anak dan orang tua, terutama ibu adalah jembatan terbaik untuk mengetahui apa yang dirasa, dipikir dan dialami anak-anak. Namun, penting agar diketahui ibu Ayu Azhari, ibu Sari Soraya Ruka, dan ibu-ibu lain di dunia ini, bahwa menjadi sahabat anak adalah bentuk pola pengasuhan (parenting) yang dapat diterapkan orang tua dalam pendidikan keluarga.
Anak bukan lagi anak-anak yang harus diperlakukan mengikuti apa yang dikehendaki orang tuanya. Bagai anak panah yang dilepaskan dari busurnya, ia tentu akan mencari dunianya sendiri untuk berpijak. Tugas orang tua hanyalah berusaha menjadi partner atau kawan seiring sejalan yang bisa memposisikan dirinya sekaligus sebagai sahabat yang bisa memahami keceriaan dunia mereka, dunia anak-anak.
Ayu mungkin belum paham, kenapa Sean mencuri uang ibunya, dan Axel memilih risau karena hak waris ayahnya, Gondokusumo (mantan suami pertama Ayu Azhari, red) merasa telah dikuasai ibunya. Anggapan Ayu, ada banyak pihak yang 'mencuci otak' buah hatinya hingga mereka berbalik melawannya. Namun ada yang luput dari pemikiran Ayu, bahwa mereka sebenarnya sedang mencoba mencari perhatian sang ibu. Ketika perhatian itu tak lagi didapatkan, bisa ditebak mereka memilih berontak.
Hingga miris rasanya jika mendengar Sean berucap salam perpisahan kepada ibunya, "Selamat Tinggal Ibu Ayu..". Sebuah ungkapan Sean yang dimaknai sebagai jarak yang memang sudah terbentang lebar antara ibu dan dirinya, bahwa ucapan perpisahan itu tak lagi sekedar fisik yang saling berjauhan namun batin yang tak lagi bisa saling bersentuhan.
Ya, anak-anak datang ke dunia untuk menjadi sahabat, bukan menjadi musuh bagi orang tuanya. Bahwa orang tua adalah figur yang seharusnya bukan untuk ditakuti tapi disegani. Sesederhana konsep sebuah persahabatan sejati, sahabat adalah tangan yang siap memberi, telinga yang siap mendengar dan hati yang siap mengerti. Begitulah ketika kita mampu memaknai anak sebagai anugerah dan amanah, maka kehadirannya membuat hidup terasa indah.
(
maya/CN19)
Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.com
Dapatkan SM launcher untuk BlackBerry http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad
0 comments:
Post a Comment