KOMPAS.com - Dahulu, ajang unjuk diri status sosial sebagian perempuan adalah perhiasan yang bergelantungan di tubuh. Kini, kecenderungan perilaku itu beralih pada tas. Nia G Syarif (43), pemilik butik mewah Socialite di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, bercerita, selama hampir dua dekade belakangan ini kaum perempuan perkotaan kian menjadi-jadi menggandrungi tas mewah berbagai merek. Tas menjadi fashion statement yang diperhitungkan.
"Baju boleh saja yang bermerek biasa, asal cukup bagus. Tapi, kalau tas, harus yang bermerek high-end dan asli," celoteh Nia tentang pakem berpenampilan bagi sebagian kalangan perempuan urban di Jakarta.
Gaya hidup semacam itu juga merambah hingga ke berbagai daerah. Pelanggan dari daerah, menurut Nia, belanja tas dengan membayar tunai. "Kalau yang di Jakarta, biasanya nyicil dengan kartu kredit," imbuh Nia.
Senada pula dengan cerita Karen Widjaja, pemilik Second Chance, butik tas mewah bekas pakai di Jalan Hati Suci, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Butik ini boleh dibilang salah satu pionir butik tas mewah bekas pakai di Jakarta yang berdiri sejak 1996. "Setelah reformasi 1998, pencinta tas mewah malah makin menjadi-jadi, termasuk dari daerah. Pelanggan kami sekarang meluas ke daerah Sumatera, Kalimantan, sampai Maluku. Mereka bayar tunai," cerita Karen.
Berbagai cara ditempuh untuk memiliki tas mewah yang otentik. Selain membeli tas di butik multi-brand yang harganya bisa lebih rendah 5-20 persen dari butik resmi, konsumen juga menyewa atau membeli bekas pakai. Dalam hal ini, memiliki tas asli menjadi gengsi tersendiri bagi pencinta tas mewah. Sementara menjinjing tas bermerek palsu bagi mereka adalah aib.
Investasi Pasar yang menjanjikan itu pula yang mendorong kemunculan berbagai butik yang menjual tas mewah otentik bekas pakai. Terlebih, "tekanan sosial" soal asli-palsu menjadikan sebagian orang memilih membeli tas mewah bekas pakai ketimbang tas mewah abal-abal.
Meski bekas, tas-tas yang dijual butik-butik ini tak ubahnya seperti baru. Banyak pemilik tas mewah yang enggan memakai tas-tas mahalnya berkali-kali sehingga memilih untuk menjualnya. Untuk tas yang banyak digandrungi, seperti Louis Vuitton edisi Neverfull—yang dijuluki "LV sejuta umat"—harga jual bekas pakainya malah hanya berselisih rendah sekitar Rp 1 juta dari harga barunya yang berkisar Rp 7 juta.
Faktor nilai jual yang tinggi dari tas mewah bekas pakai ini menjadikannya sebagai barang investasi yang cukup likuid, cepat cair. Tak heran, di Indonesia pun peminat tas mewah bekas pakai juga meliputi para selebriti papan atas, sosialita, dan tentu juga istri-istri pejabat.
"Lebih menguntungkan beli tas second. Kalau dijual lagi, kadang harganya bisa tetap sama atau selisih lebih rendah satu jutaan saja. Hitung-hitung, anggap saja itu ongkos pakai untuk sekali-dua kali arisan, misalnya," kata Anny Muryadi (52), perancang perhiasan berlian, yang sedang singgah melihat-lihat di butik Precious, butik tas mewah khusus bekas pakai di Jalan Ahmad Dahlan, Jakarta Selatan.
Melihat potensi pasar itu pula yang mendorong Khairiyyah Sari (35) dan Dewi Rezer (30) pada awal 2011 membuka bebelian.com, butik online tas mewah bekas pakai. Tas-tas bekas pakai yang dihimpun Sari dan Dewi berasal dari para selebriti dan sosialita Indonesia. Mereka pun tak menyangka peminat tas-tas mewah ini, selain dari Jakarta, juga dari berbagai daerah, mulai dari Pekanbaru, Karawang, Banjarmasin, Yogyakarta, Manado, hingga Denpasar. Sejak berbisnis enam bulanan lalu, sudah 46 tas selebriti yang terjual.
Harga tas-tas mewah otentik bekas pakai di pasaran Jakarta saat ini terentang luas, mulai dari satu juta hingga seratusan juta rupiah. Ya, meski bekas, harganya memang bisa tetap selangit. Merek-merek klasik yang bertahan digandrungi di Indonesia adalah Louis Vuitton, Hermes, dan Chanel. Merek-merek lain seperti Gucci, Balenciaga, Bottega Veneta, Dior, Miu Miu, Ferragamo, Tods, Prada, dan Marc Jacobs, juga tak sepi peminat.
Status sosial Tampil dengan tas mewah dalam pengamatan sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Ari Sudjito, merupakan bagian dari identitas kelas. Dalam masyarakat dunia konsumsi, mengonsumsi bisa merupakan tindakan untuk menunjukkan identitas kelas. Dalam masyarakat demikian, biasanya terdapat komunitas-komunitas yang memiliki ukuran dan simbol kelas tertentu. Dengan mengonsumsi ukuran-ukuran kelas itu, mereka lalu memiliki posisi tawar yang kuat dalam komunitas.
"Buat orang di luar komunitas mereka, mereka dianggap tidak rasional. Tapi, buat mereka yang membeli barang dengan harga selangit itu, hal itu rasional dalam rangka reproduksi kelas. Sebab, mereka mencoba menancapkan identitas kelas dengan merek-merek tertentu. Komunitas masyarakat seperti itu sesungguhnya mengonsumsi sesuatu yang hampa," tutur Ari.
Menurut Ari, simbol-simbol yang mereka konsumsi dari barang-barang bermerek papan atas tersebut boleh jadi hanya berguna di komunitasnya. Di luar komunitas mereka, barang-barang dan simbol-simbol itu belum tentu berguna ataupun berpengaruh.
Lia Candrasari (36), pengusaha yang juga kolektor ratusan tas mewah, mengamati dorongan di kalangan sosialita untuk menjinjing tas mewah memang berpretensi demi meraih pengakuan akan status sosial. Lia, yang tumbuh dewasa di Malang, Jawa Timur, ini bercerita tentang bagaimana dirinya kerap diragukan lingkungan sosialnya ketika terjun di bisnis batubara. "Karena itu, membawa tas branded bisa membuat orang lain lebih mengakui (status sosial), bisnis pun lancar," ungkap Lia.
Era keterbukaan informasi menciptakan "hukum sosial" di kalangan penggemar tas mewah, yakni harus memiliki tas mewah otentik. Ini bukan soal peduli pada pelanggaran hak cipta, tetapi lebih pada gengsi. Itu karena alih-alih status sosial terdongkrak, menjinjing tas palsu justru akan mengundang cibiran dan gunjingan.
"Kalau ditanya (punya tas mewah) demi apa, ya untuk show off dong, demi status. Ini dunia awang-awang memang, kadang seperti dagelan," kata Nia.
Dagelan yang mahal....
(Sarie Febriane/Budi Suwarna)
Baca juga: Mengapa Orang Rela Berutang demi Beli Barang Mewah? Mengoleksi Tas "Branded" Sama dengan Investasi?
Sent from Indosat BlackBerry powered by
Sumber: Kompas Cetak
0 comments:
Post a Comment