Bogor (ANTARA News) - Anak yang mengalami gangguan pendengaran atau tuli belum tentu bisu, demikian disampaikan oleh Apsari Dionita, orang tua dari Aflah Menur Nadila (7) yang menderita tuna rungu dan kini sudah bisa berbicara, dalam acara pertemuan para orang tua anak tuna rungu.
"Banyak orang beranggapan anak yang tuli sudah pasti bisu. Semua itu tidak benar. Belum tentu anak tuli itu bisu," kata Apsari di hadapan para orang tua ATR dalam pertemuan yang di Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu.
Apsari menyampaikan pengalamannya itu guna saling berbagi dan memberi dukungan kepada para orang tua yang memiliki anak tuna rungu.
Banyak orang tua yang belum memahami anak dengan gangguan pendengaran (tuna rungu) sehingga menganggap anak tuna rungu aib dan dikucilkan, katanya.
Padahal, ia menilai, anak dengan gangguan pendengaran memiliki kelebihan yang luar biasa, selain aktif dan memiliki ketajaman indra penglihatan, anak tersebut belum tentu bisu, atau masih punya kemampuan untuk berbicara.
Terbatasnya kemampuan berbicara anak tuna rungu berbicara, menurut dia, karena sejak lahir tidak bisa mendengar. Hal ini yang membuat anak-anak tersebut sulit berbicara karena tidak ada saraf pendengaran.
"Dengan bantuan alat bantu dengar dan latihan terapi wicara bagi anak tuna rungu secara rutin dan berkelanjutan dapat membantu anak-anak tuna rungu berbicara layaknya orang normal," kata Apsari.
Apsari mengatakan, pengalaman menjadi orang tua dengan anak tuna rungu telah dilaluinya dengan penuh suka cita.
Selama tiga tahun ia mendidik dan membesarkan Menur secara berkesinambungan hingga pada usia 8 tahun sudah bisa berbicara, seperti anak-anak lainnya.
"Alhamdulillah, anak saya sekarang sudah bisa berbicara. Dia pun bisa bersekolah di sekolah umum seperti anak-anak lainnya," kata Apsari.
Terbatasnya kemampuan pendengaran putrinya membuat ia khawatir akan masa depan sang anak, apakah mampu bersosialisasi dan menghadapi hidup layaknya orang-orang normal lainnya.
Kekhawatiran ini dirasakan setiap orang tua yang memiliki anak tuna rungu. Tak ayal, banyak orang tua yang tidak tau cara menangani anak tuna rungu.
Tantangan menjadi orang tua ATS cukup berat, sehingga dirinya membentuk komunitas. "Melalui komunitas ini kita melakukan pertemuan untuk saling berbagi informasi, cerita dan pengalaman-pengalaman orang tua dengan anak tuna rungu," kata Apsari.
Sementara itu, Yuniken Mayangsari selaku tuan rumah acara tersebut menyebutkan bahwa komunitas orang tua dengan anak gangguan pendengaran di Kota Bogor terbentuk sejak Februari 2011.
Selama kurun waktu setengah tahun, ia mengemukakan, komunitas tersebut intens melakukan pertemuan yang digelar tiga bulan sekali.
"Agenda pertemuan kali ini kita ingin berbagi informasi mengenai, pengenalan lebih jauh tentang gangguan pendengaran, "sharing parents" dan acara sederhana untuk anak-anak tuna rungu untuk berani tampil dan percaya diri," kata Yuniken, yang juga memiliki seorang putri tuna rungu.
Yuniken mengatakan, kegiatan ini diharapkan anak-anak tuna rungu atau gangguan pendengaran di Bogor mulai dapat perhatian di masyarakat.
Acara diikuti sekitar 13 orang tua anak dengan gangguan pendengaran. Pertemuan para orang tua yang juga dihadiri anak-anaknya ini menjadi ajang silaturahmi dan berbagi informasi seputar menjaga, merawat dan membesarkan anak-anak tuna rungu secara baik.
(T.KR-LR)
0 comments:
Post a Comment