KOMPAS.com - Kita sering kecewa karena tidak adanya sinergi. Padahal, begitu banyak hal yang harus dibenahi dan tantangan untuk memperbaiki kinerja terus digaungkan sebagai urgensi. Tidak jarang kita melihat pejabat atau orang-orang penting di satu perusahaan menolak untuk bicara lebih dalam mengenai konflik yang terjadi. Padahal, di sisi lain, mereka bisa dengan santainya makan siang bersama-sama. Keterbukaan yang digembar-gemborkan para atasan sebagai "my door is open" kerap berupa slogan saja, namun tidak serius dijalankan.
Ketika atasan menyadari bahwa ide-ide, protes-protes, bahkan kekecewaan tidak "mengalir" ke mereka, para atasan ini tidak berusaha memperbaiki situasi. Bila keterbukaan tidak tumbuh di dalam tim dan antar individu, jangan heran bila kemudian yang tumbuh adalah atmosfir sindir-menyindir, salah menyalahkan, kelelahan, "loneliness", apatis, bahkan hilangnya inisiatif. Padahal, kita sangat menyadari, bahwa perbaikan prosedur dan proses bisnis tercanggih di dunia pun tidak bisa lancar tanpa adanya "rasa percaya" antar tim yang berakar secara mendalam pada masing-masing individu
Dunia kita makin kompleks, di mana tim dituntut bersinergi dalam rangka globalisasi dan desentralisasi. Di dunia kerja, makin maraknya "outsourcing" dan posisi pada setiap fungsi organisasi yang kerap berjauhan menjadikan setiap manajer ditantang untuk memimpin tim dari jarak jauh. Alat-alat monitoring, komunikasi secara cyber, dan segala macam elektronik tetap tidak bisa menggantikan hubungan tatap muka, sehingga kita menyadari kemungkinan tidak terkuaknya masalah, adanya kesalahan, salah pengertian dan tercampur aduknya masalah yang ujung-ujungnya tidak gampang untuk mengurainya kembali. Di satu pihak ada atasan yang mengatakan, "Jangan terlalu percaya pada anak buah. Anda harus turun tangan dan melakukan inspeksi sendiri". Namun sebaliknya, kita sangat menyadari bahwa rasa percaya harus kita tumbuhkan bila ingin mengembangkan tim virtual begini.
Begitu pentingnya rasa percaya, sehingga berbagai disiplin ilmu, baik para neuroeconomist, behavioral economists, dan para psikolog sosial mempelajari berbagai teknik dan cara untuk mempelajari tumbuhnya rasa percaya. Namun, kita bisa menemui individu yang walaupun sangat berniat untuk mengembangkan rasa percaya ini, tetap tidak mudah mempercayai orang di sekitarnya. Bisa saja ia tidak percaya pada fairness dan keterbukaan atasannya sendiri, maupun tidak mempercayai apa yang dilaporkan anak buahnya. Bila saja separuh karyawan di sebuah organisasi mempunyai perasaan yang sama, bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya atmosifr kerja di lingkungan tersebut.
To trust is human Pada mahluk lain, rasa percaya itu beroperasi secara intuitif, namun manusia mengembangkan rasa percaya sebagai fungsi otak. Segera setelah dilahirkan, bayi sudah bisa membaca mimik pengasuh atau ibunya, bahkan sudah memalingkan muka ke arah suara yang dikeluarkan ibunya. Seorang psikolog sosial mengatakan: "We're born to be engaged and to engage others, which is what trust is largely about." Meskipun para ahli juga menemukan bahwa ada zat tertentu yang secara rutin di produksi kelenjar tubuh kita yang berfungsi menghubungkan kondisi emosional dengan hubungan sosial yang positif, yaitu oksitosin, para ahli tetap berkeyakinan bahwa rasa percaya memang tumbuh secara rasional.
Hal lain yang perlu kita pahami juga adalah dari sebuah penelitian terhadap sejumlah mahasiswa, didapatkan bahwa, manusia mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa penilaiannya benar. Dengan demikian, setiap individu cenderung tidak mengkonfirmasi ulang penilaiannya. Selain itu, manusia juga sering didominasi oleh ilusi semacam unrealistic optimism di mana keyakinan bahwa semua hal yang baik-baik akan terjadi pada dirinya. Hal ini kadang menghambat pikiran kita untuk melakukan cek dan ricek terhadap penilaian yang kita buat.
Disadari atau tidak, kita memang sering mempunyai kecenderungan yang menetap. Apakah terlalu curiga atau sebaliknya terlalu percaya. Tantangan kita adalah secara sadar menjaga, mengevaluasi dan menuntut penilaian kita untuk mengolah, bekerja keras, dan tidak mengambang.
Kirimkan sinyal Pada tahun 1980-an, ketika komputer masih dianggap barang mahal, Hewlett Packard membuat kebijakan, bahwa karyawannya diijinkan membawa pulang laptopnya masing-masing untuk bekerja di rumah. Pesannya jelas. Perusahaan percaya pada karyawannya. Sinyal ini langsung mewarnai keyakinan karyawan akan perusahaannya dan seketika berdampak pula pada keyakinan karyawan pada anggota tim lain, seperti atasan dan teman kerjanya.
Rasa percaya memang beresiko. Bila kita melancarkan kritik, kita malah bisa dipukul balik. Bila kita menyampaikan "brutal facts", tak jarang malah bernasib: "messenger get killed". Curhat pada teman yang salah bisa berakibat gosip beredar. Namun untuk maju, kita tidak punya pilihan kecuali menumbuhkan rasa percaya pada rekan, atasan, perusahaan, dan juga negara. Sikap menghindar dan menjauhi orang yang tidak kita percaya, hanya akan berakibat turunnya kinerja tim dan ketidaknyamanan situasi kerja.
John F. Kennedy pernah membuktikan bahwa mengembangkan sikap saling percaya berhasil menumbuhkan kolaborasi positif. Dalam pidatonya di sebuah universitas di Amerika pada tahun 1963, ia mengemukakan tentang sifat baik orang Rusia dan betapa ia ingin bekerja sama dengan pemerintah Rusia di bidang persenjataaan nuklir. Pernyataan ini membuat Nikita Khrushchev terkesan dan akhirnya membuka hubungan diplomatik. Dari sini kita belajar bahwa pesan dan sinyal bahwa kita bisa dipercaya dan bisa mempercayai orang lain perlu dilakukan secara sengaja dan juga penuh kesadaran sehingga pihak lain pun sadar bahwa kita tidak main-main ingin membangun rasa percaya.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak
0 comments:
Post a Comment