KOMPAS.com - Salah satu segmen penting dalam event Jakarta Fashion Week 2012 ada Lomba Perancang Mode (LPM). LPM tak lain ajang pencarian desainer baru yang digelar Femina sejak tahun 1979. Ajang ini telah melahirkan nama-nama desainer ternama, di antaranya Edward Hutabarat, Itang Yunasz, Carmanita, Stephanus Hamy, Taruna Kusmajadi, Musa Widyatmodjo, Denny Wirawan, Sally Koeswanto, dan Priyo Oktaviano. LPM juga telah melahirkan desainer-desainer muda saat ini seperti Eny Ming, Tex Saverio, Andreas Odang, Zacky Gaficky, dan Albert Yanuar.
Penyelenggaraan tahun ini mengangkat tema besar "Sinergi Timur-Barat, dimana para peserta ditantang untuk mengintrepretasi padu padan budaya lokal, yang menampilkan modernitas dalam detail rancangan. Hasil akhirnya adalah koleksi busana siap pakai untuk konsumen (wanita) masa kini.
"Kriteria penjurian mengacu pada hal tersebut, yaitu bagaimana kreativitas dan orisinalitas karya. Nanti tema tersebut bisa diekspolorasi, karena katanya kan di kolong langit ini tidak ada yang baru, semua sudah pernah dibuat. Karena itu, maknanya luas," tutur Petty S. Fatimah, pemimpin redaksi majalah Femina, menjelang final show LPM di Fashion Tent, Pacific Place, Jakarta, Kamis (17/11/2011) lalu.
Kriteria penilaiannya, menurut Petty, terdiri atas beberapa aspek, yaitu daya jual, daya pakai, dan teknik pembuatannya. Rancang busana mencakup pengetahuan finalis mengenai sejarah mode, namun yang tak kalah penting bagaimana mengemas busana yang bagus untuk dijual. Busana siap pakai harus disukai pasar, dan bisa dikenakan untuk sehari-hari. "Ada pula faktor harga, karena baju itu harus bisa terjual, dan (penjualnya) nggak boleh rugi. Maka yang didorong adalah semangat kewirausahaan," tambah Petty.
Tahun ini, LPM menerima sebanyak 296 sketsa, yang didominasi para mahasiswa sekolah mode di seluruh Indonesia. Sebagian di antaranya pernah dan sedang belajar di Jakarta, Singapura, Shanghai, dan Milan. Jumlah tersebut lalu mengerucut menjadi 20 sketsa di babak semifinal, dimana mereka harus mempresentasikan sketsa yang sudah menjadi satu pakaian jadi di hadapan para juri.
"Pada tahap ini kami lebih menekankan story koleksinya. Kemudian saat implementasi, bicara soal pengalaman, struktur badan, kain, teknik pola dan teknik jahit. Soalnya kadang-kadang desainer itu lupa bahwa mereka tak cuma menjual gambar, tapi juga hasil jadi. Kami membantu mereka untuk men-develop koleksinya untuk memberikan alternatif pada konsumen, jangan hanya terpaku pada satu bentuk baju. Kalau (finalis LPM) dulu cuma mengandalkan bakat, sekarang mereka harus bisa masuk ke industri," ungkap Musa Widyatmodjo, perancang yang menjadi salah satu anggota tim juri.
Selain Musa, tim juri beranggotakan Priyo Oktaviano, Syahmedi Dean (pengamat budaya pop), Petty S. Fatimah (Pemimpin Redaksi Femina), Ninuk M. Pambudi (wartawan KOMPAS dan pengamat mode), Astrid Aryani (Marketing Manager Mazda Motor Indonesia), dan Atiqah Hasiholan (aktris).
Sepuluh finalis malam itu masing-masing menampilkan enam potong busana yang terdiri atas busana kasual, gaun coktail, dan gaun malam. Selain batik, para finalis juga mencoba mengolah kain tradisional lain seperti lurik, kain ikat oyutupas (Nusa Tenggara Timur), tenun samarinda, tenun endek (Bali), hingga sarung goyor. Sedangkan unsur barat umumnya muncul dalam bentuk model busana, seperti pemakaian petticoat (rok dalam), jumpsuit, basque top, atau gaya keseluruhan yang dipengaruhi busana Eropa dan Asia.
Penggunaan kain tradisional ini tampaknya justru membuat para finalis bebas bermain-main. Hampir tak ada kain batik yang tampil utuh dalam satu potongan baju. Finalis membuat permainan tabrak motif, mengaplikasikannya sebagai pola geometris, menjadikannya aksen pada tepi baju atau sebagai ikat pinggang, memadukannya dengan motif lain seperti garis, kotak-kotak, bordir, tie dye, atau dengan bahan seperti denim. Kreativitas juga muncul dalam bentuk detail, seperti atasan yang diberi epaulet (tanda pangkat kemiliteran), atau tas yang kemudian bisa berubah bentuk menjadi rok bawahan.
Final show ini akhirnya menghasilkan tiga orang pemenang, ditambah satu pemenang favorit (hasil pengumpulan SMS), dan satu pemenang penghargaan khusus persembahan Mazda. Pemenang pertama adalah Lulu Lutfi Labibi (Yogyakarta), pemenang kedua Friederich Herman (Malang), pemenang ketiga Cynthia Tan (Jakarta), pemenang favorit Sherly Monica (Jakarta), dan pemenang penghargaan khusus Erliana Sumali (Jakarta).
Menggunakan beberapa jenis kain dari daerah asalnya, seperti kain lurik, sarung goyor dari Klaten, tenun ikat dari Jepara, dan batik motif kontemporer, koleksi Lulu Lutfi memiliki total look yang modern. Rancangannya terlihat begitu fun, adem, dan nyaman dikenakan. Ada jumpsuit bergaya strapless, sarung yang dililitkan membentuk celana selutut, gaun dengan rok yang tembus pandang, dengan sedikit aksen merah di sana-sini. Motif batik bertemu bebas dengan motif lain seperti lurik, polka dot, atau kotak-kotak.
Sebagai pemenang pertama, Lulu berhak atas beasiswa The Fashion Institute of Design and Merchandising (FIDM) di Los Angeles, Amerika Serikat, selama tiga bulan dan uang tunai sebesar 4000 dollar. Pemenang kedua meraih uang tunai senilai Rp 17,5 juta, pemenang ketiga mendapatkan Rp 12,5 juta, sementara pemenang penghargaan khusus dan pemenang favorit memperoleh Rp 7,5 juta, dan tentunya dengan berbagai hadiah hiburan lain.
10 Finalis Lomba Perancang Mode 1. Iwan Amir (Jakarta), Dance Over the Rainbow 2. Erliana Sumali (Jakarta, pemenang persembahan Mazda), Variation Unit 3. Albert Ferdy Sibarani (Yogyakarta), Office Goddess 4. Delly Andriani (Tangerang), Geometrical Batik 5. Cynthia Tan (Jakarta, juara III), Relaxed Sensation 6. Friederich Herman (Malang, juara II), Perspective 7. Lulu Lutfi Labibi (Yogyakarta, juara I), Local Glory 8. Sherly Monica (Jakarta, juara favorit), Orient Romanticism 9. Popo Rickky (Jakarta), Phoenixian 10. Sischaet Detta (Jakarta), Rahajeng Wengi, Mademoiselle
0 comments:
Post a Comment