DENGAN teknik bedah minimal invasif, pasien jantung akan merasakan nyeri yang minimal, pemulihan lebih cepat, rawat inap lebih pendek, dan dapat beraktivitas seperti biasa dengan segera.
Penyakit jantung koroner (PJK) masih merupakan jenis penyakit yang menjadi masalah penting baik di negara maju maupun berkembang. PJK merupakan penyebab kematian nomor satu pada orang Amerika dewasa. Setiap tahunnya, 478.000 orang meninggal, 1,5 juta orang mengalami serangan jantung, 407.000 orang mengalami operasi peralihan dan 300.000 orang menjalani angioplasti.
Di Indonesia, juga sama. Angka kematian di Indonesia akibat PJK sangat tinggi. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN), dalam 10 tahun terakhir angka tersebut cenderung mengalami peningkatan. Pada 1991, angka kematian akibat PJK adalah 16 persen. Kemudian pada 2001 angka tersebut melonjak menjadi 26,4 persen. Angka kematian akibat PJK diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk di Tanah Air.
Saat ini sedikitnya 78 persen kematian global akibat penyakit jantung terjadi pada kalangan masyarakat miskin dan menengah, termasuk di negara kita. Berdasarkan kondisi itu, dalam keadaan ekonomi terpuruk, upaya pencegahan merupakan hal terpenting untuk menurunkan penyakit kardiovaskular tersebut pada 2010.
Apalagi, Indonesia saat ini menghadapi masalah kesehatan yang kompleks dan beragam. Tentu saja mulai dari infeksi klasik dan modern,penyakit degeneratif, dan penyakit psikososial yang menjadikan Indonesia saat ini menghadapi yang namanya threeple burden diseases. Namun, tetap saja penyebab angka kematian terbesar adalah akibat PJK yang disebut the silence killer.
Salah satu solusi baru agar tidak menambah beban pasien PJK adalah dengan tindakan bedah jantung minimal invasif. Operasi ini memungkinkan dokter mengoperasi tanpa membuka rongga dada pasien dan hanya dengan sayatan kecil.
Keuntungan dari operasi jenis ini adalah nyeri setelah operasi sangat minimal, pemulihan lebih cepat, rawat inap lebih pendek, dan penderita dapat beraktivitas seperti biasa dengan segera. Dari segi biaya, secara keseluruhan operasi dengan teknik ini juga lebih murah dibandingkan dengan operasi jantung konvensional.
"Metode ini memang belum banyak dijalankan di Indonesia, padahal di negara lain sudah lama diterapkan untuk pasien jantung," kata Joe Shrawder, President & CEO GE Surgery GE Healthcare saat acara diskusi dengan sejumlah media beberapa waktu lalu.
Dalam operasi jantung konvensional, dokter akan membuat sayatan sepanjang 15 sentimeter di tengah tulang dada pasien. Sementara melalui bedah minimal invasif, tidak lebih dari lima sentimeter ke bagian samping dari dada sehingga tidak terlalu sakit bagi pasien. Lewat lubang tersebut dimasukkan alat operasi, seperti kateter, klip, dan endoskop.
Situasi bagian dalam tubuh pasien ditampilkan lewat layar monitor, sedangkan operasi dilakukan manual oleh tim dokter. Menurut Joe, tindakan operasi ini belum banyak dilakukan di Indonesia karena jumlah dokter jantung yang memiliki sertifikasi untuk bisa melakukan tindakan kateterisasi sekarang masih sangat terbatas.
Selain itu, dia menyebut faktor mahalnya alat bedah minimal invasif dan kesulitan mencari alat yang tepat sebagai faktor lain mengapa negara kita termasuk tertinggal dalam penerapan metode ini.
"Padahal, dengan metode ini dapat menghemat biaya operasi mulai 25 persen hingga 75 persen. Dan harapan hidup pasien jantung juga semakin tinggi," tuturnya.
Tindakan bedah minimal invasif sebenarnya sudah lama diperbincangkan. Namun, mulai ramai dikembangkan sejak 1978, di mana seorang ahli bedah bernama Hasson pertama kali memperkenalkan suatu metode alternatif berupa trokar khusus yang kemudian dikenal dengan teknik Hasson.
(tty)
0 comments:
Post a Comment