TEMPO Interaktif, Batam - Siang itu waktu salat Zuhur tiba. Seorang anggota jemaah pria datang ke Masjid Sultan Lingga di Jalan Sultan, Daik, Kabupaten Lingga, Batam, 15 Agustus lalu. "Salat Zuhur," ujar Muhammad Lazuardi, 25 tahun, menyapa Tempo. Ardi, sapaan akrab Lazuardi, selalu salat lima waktu di masjid peninggalan Sultan Mahmud Syah III itu karena jarak rumahnya tak jauh dari sana.
Sejak dibangun pada 1801, suasana masjid masih tampak seperti dulu. Misalnya, di pintu masuk ruang utama terdapat penyekat peninggalan Sultan Mahmud Syah III yang tidak boleh digeser atau diganti dengan penghalang lain. Kotak infak diletakkan di kedua sisi pintu masuk. "Tak boleh diubah, celake (bisa celaka) kalau diubah," kata Ardi memberi informasi.
Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat, harta peninggalan sultan di masjid itu tidak boleh diganggu. Jika ada yang melakukannya, sultan akan mengutuk si pengganggu. Masjid peninggalan zaman Kerajaan Bangsa Melayu yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah III itu terletak di pusat Kota Daik. Masjid dibangun dengan bahan baku kayu. Karena dimakan usia, bangunan masjid itu rapuh.
Pada 1961, pemerintah setempat merenovasi masjid itu selama dua tahun. Renovasi tak menghilangkan nilai sejarah masjid itu. Misalnya plafon lama peninggalan Sultan Mahmud Syah III masih dipakai hingga kini. Namun, belakangan ini jemaah sering mengeluh ada debu dari plafon itu sehingga Pemerintah Kabupaten Lingga berencana mengganti plafon masjid tua tersebut akhir Agustus ini.
Dulu masjid kuno ini hanya mampu menampung 40 anggota jemaah. Setelah direnovasi, masjid kini bisa menampung 400 orang. Renovasi masjid itu dilakukan bersamaan dengan renovasi Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat, tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda dan Permaisuri Pertama Sultan Mahmud Syah III, Engku Hamidah. Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat, Lingga, merupakan warisan dari Sultan Mahmud Syah III kepada permaisurinya.
Jika pengunjung ingin mengetahui jejak Sultan Mahmud Syah III dan keluarganya, di bagian belakang masjid terdapat makam Sultan Mahmud Syah III, keluarga, dan hulubalang yang dikelilingi pagar beton. Masjid itu dikenal masyarakat setempat sebagai masjid yang menenangkan hati. Betapa tidak, suasana tenang tampak saat hendak memasuki masjid itu. Di sana ada kolam kecil yang dijadikan tempat untuk air wudu buatan Sultan Mahmud Syah III. Sultan pun mengambil air wudu di situ.
Kini kolam kecil itu tak dipakai untuk berwudu. Sebab, air ledeng telah mengalir dari Gunung Daik ke masjid kuno tersebut. Bukan hanya itu, beredar kabar bahwa masjid tersebut selalu ramai pada waktu salat Zuhur dan Isya. Nyatanya, ketika Tempo datang ke masjid itu hingga tiga kali, ternyata orang yang salat jumlahnya hanya satu saf. Kepala Dinas Pariwisata Lingga, Junaidi, mengatakan warga setempat datang ke masjid itu pada Jumat dan hari-hari besar Islam lainnya. "Saat ini di Daik sudah banyak masjid, jadi jemaah terpencar ke beberapa masjid," ujarnya.
RUMBADI DALLE | ENI S
0 comments:
Post a Comment