Senin, 13 Februari 2012 | 09:52 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Jam sudah menunjukkan pukul 21.35 pada Jumat malam akhir Januari lalu. Satu per satu orang memasuki ruangan yang dikelilingi kaca cermin itu. Yang perempuan terlihat cantik, dibalut gaun berbagai warna dan sepatu hak tinggi. Sedangkan yang laki-laki berpenampilan macho dengan kemeja dan pantalon yang dipadankan dengan pantofel yang mengkilap.
Setelah bercakap-cakap dan menikmati hidangan makanan ringan yang disajikan hotel, salah seorang pria menghampiri salah seorang wanita. Ia lantas menggamit tangan si wanita dan menggiringnya ke tengah ruangan. Tak lama berselang, alunan musik Latin lamat-lamat memenuhi ruangan.
Badan pria dan wanita itu saling menempel bersisian, tangan kiri sang pria menggenggam tangan kanan si wanita. Tangan-tangan mereka memegang punggung atau pinggang pasangannya. Mulailah mereka melakukan gerakan tarian.
"Dengan tarian Tango ini, laki-laki diajar untuk menjadi gentleman sejati," ujar Ferrol Matthew Poluan, 24 tahun, salah seorang anggota komunitas tari Casa Del Tango.
Matthew menjelaskan, Tango tidak sekadar gerakan-gerakan tari, juga bermakna ihwal perilaku. Dalam seluruh gerakan tarian, laki-laki memimpin, sedangkan perempuan mengikuti tiap langkahnya. Seperti budaya patriarki: perempuan "manut" kepada pemimpinnya.
"Itu hal yang paling menarik dari Tango. Tuntutan sebagai leader yang baik adalah yang menghargai pasangannya," ujar Ferrol saat ditemui di sela acara rutin berdansa tango di Hotel Grand Mahakam, Jakarta Selatan, itu.
Komunitas Casa Del Tango berdiri sejak 4 tahun lalu. Awalnya, komunitas ini hanya kumpulan segelintir orang yang menyukai Tango. Mereka pun terbilang seumur dan masih berasal dari lingkup pergaulan yang sama. Salah seorang anggotanya adalah Ade. Adalah perempuan yang usianya sudah kepala lima ini yang biasa mengatur pertemuan rutin mingguan.
Tiap Jumat malam, mereka berkumpul mengadakan milonga--kegiatan menari Tango bersama-sama. Milonga yang diadakan seminggu sekali di Hotel Grand Mahakam tidak menutup untuk dihadiri pencinta Tango lainnya. "Biasanya mereka datang saja. Tidak punya ikatan harus ikut terus-terusan," kata Ade.
Karena tidak memiliki ikatan itulah, kata Ade, milonga ini sering kali ramai dihadiri orang di luar komunitas. Biasanya ada sekitar 30 orang datang untuk turun ke lantai dansa membawakan tarian social dance ini. Yang datang bukan hanya orang lokal, juga ada orang asing seperti dari Filipina. Peserta yang hadir ditarik bayaran sekitar Rp 160 ribu.
Anggota komunitas lainnya, Shirley Nasution, mengaku mengenal Tango sejak enam tahun lalu. Ibu dua anak ini memang cinta menari. Kecintaannya pada tari kemudian diwujudkannya dengan mengikuti kursus berbagai jenis tari sejak 10 tahun yang lalu. Ketika itu, ceritanya, ia dan empat temannya rutin mengikuti les tari.
Shirley mengetahui ada milonga di Grand Mahakam dari teman-temannya. Lantas, ia pun memutuskan untuk pergi menari di sana jika memiliki waktu luang. Tak hanya mengikuti milonga di Grand Mahakam, ia juga beberapa kali ikut sesi milonga lain yang diadakan tiap Selasa di Hotel Four Seasons.
RIRIN AGUSTIA
0 comments:
Post a Comment